Kamis, 27 Agustus 2015

True Story from 01/08/12


Tap.. tap.. tap.. , suara sendal karet berwana kuning millikku terdengar membentuk irama teratur yang memecah keheningan kosan pinky ketika aku menuruni tangga menuju ruang TV. Tanganku meraih sebuah gelas kaca berukuran sedang dan membuka kulkas untuk menemukan kotak susu yang biasa kuminum. Segelas susu di pagi hari? Ya, aku sedang tidak puasa. Teman-temanku masih tertidur pulas. Wajar saja, ini masih jam 7, mereka pasti mengantuk setelah sahur tadi,’ batinku. 

Aku merebahkan tubuhku di kasur malas yang tergeletak indah di ruangan ini. Persis berada di depan TV yang hampir menyala seharian. Aku mengutak-atik remote untuk menemukan acara-acara kocak yang bisa membuatku tertawa geli. Titi, teman satu kosan yang ternyata sudah bangun dari tadi pun keluar dari kamarnya. Sambil mencari posisi yang nyaman di sebelahku. Pagi ini pun kami lewati  dengan bermalas-malasan tanpa arti.
***
“Wow.. panas banget, jadi males keluar rumah niih.” Aku bergumam sendiri sambil mengunyah potongan melon yang kubeli sebelumnya.

“Emang mau kemana Yu? Tanya Kak Dini.

Aku, Kak Dini, Ira dan titi lagi-lagi membunuh waktu sambil menonton serial drama korea di ruang TV, dimana penghuni kosan pink biasa menghabiskan waktu bersama.

“Kan ada kursus kak,,, mana udah jam satuan lagi,, aiih,, maleess.” Jawabku.

“Ya udah,, sekali-kali cabut gak apa kaan?”, balas Titi sambil menatap penuh godaaan.

“Ya udah cint,, pakai payung sana,,” kata Ira.

Aku menatap ke sebuah payung putih berukuran besar yang kuperoleh sebagai door prize pada premier film The Dark Knight Rises beberapa waktu lalu.

Apalah jadinya kalau aku memakai payung sebesar itu? Hahhahaa,,,Aku akan terlihat seperrti sedang menyaingi pedagang kaki lima di Pasar Simpang Dago. Payung itu besarnnya tidak masuk akal. Terlalu besar untukku. Mungkin bisa kami gunakan untuk berjualan ta'jil di depan kosan pinky. Hmm,,,
***

Kelas Conversation-ku berjalan dengan lancar dan menyenangkan seperti biasanya. Teman-teman yang kutemui disana sangat bersahabat dan ‘gila’. Tentornya pun masih sangat muda dan juga tidak kalah gila-nya. Makanya aku akan berpikir berkali-kali dulu sebelum memutuskan untuk absen, menghadiri kelas itu bisa dikategorikan sebagai mood booster, terlebih aku sangat menyukai kelas bahasa inggris, atau lebih tepatnya, aku sangat suka  belajar bahasa inggris. 

Tepat setelah kelas berakhir, aku memisahkan diri, karena harus segera menuju Stokis Melianature yang berada di Bandung Trade Center, tepatnya di daerah Pasteur. Ada member yang akan posting hari ini. Menyenangkan menjalankan bisnis ini ternyata. Banyak hal berharga yang kudapat setelah bergabung di keluarga Melianature, selain uang tentu saja.
***

Stokis sore ini cukup ramai, ruang presentasi dipenuhi oleh para undangan, ternyata sedang ada Open Plan Presentasion dari Tim Bapak Hendri Gultom. Seingatku beliau pernah menjadi pembicara di New Member Training yang kuikuti di Hotel Haris tanggal 30 Juni lalu. Sambil menunggu Teh Tanti mencatat data member, aku memperhatikan Top Leader tersebut memberikan kiat-kiat sukses menjalankan bisnis ini. Yup... belajar untuk mengajar, mengajar untuk belajar.

Aku berjalan melewati pintu stokis sambil menenteng kantong plastik yang berisi propolis, starter kit dan beberapa brosur melianature. Aku melewati beberapa toko pakaian wanita untuk menuju eskalator.

“Mbak, permisi saya mau tanya”. Suara seorang pemuda yang kira-kira berumur 20an memecah konsentrasiku. Pemuda itu tak lebih tinggi dariku, yang sedang tidak memakai wedges atau sepatu bertumit lainnya. Ada blackberry putih di tangan kananya, sedang tangan kirinya sibuk meremas punggung tanggan kanannya. Aku melihat ke arahnya, mencoba mengingat-ngingat wajahnya. ‘Ow,, aku tidak mengenalnya,’ batinku.

“Iya, ada apa Mas?” jawabku. Aku berhenti dan menunggu dia menjawab pertanyaanku.

Dia mendekat ke arahku. Hingga rasanya jarak kami tak lebih dari 40 cm. Aku mundur beberapa langkah, karena jarak sedekat itu dengan orang, apalagi orang asing, sangat mengangguku. Aku tidak suka!

“Mbak, saya mau tanya, disini dimana ya, orang yang menjual kaligrafi?” tanyanya dengan suara yang amat pelan dan dengan muka yang memelas.

Aku yang sebelumnya tidak suka berpikiran buruk tentang orang yang baru kukenal, entah kenapa langsung memiliki perasaan yang aneh ketika mendengar pertanyaanya, dan melihat gelagatnya.

Hey! Bukankah di dekat eskalator itu ada dua orang satpam yang biasanya berjaga-jaga. Kenapa dia harus bertanya padaku yang bahkan orang lain pun bisa tahu bahwa aku sedang autis berjalan sambil melihat-ihat model baju yang dipajang di manekin. Kenapa harus bertanya kepadaku? Sementara ada mbak-mbak penjaga toko yang bisa ditanyainya, yang notabene akan lebih mengerti seluk beluk BTC dibanding aku. Kecuali, dia memang berniat lain...

“Maaf Mas, saya tidak tahu, coba tanya sama satpam aja yaa.” Aku mencoba mengambil langkah untuk segera berlalu darinya.

Dia maju selangkah seolah ingin mencegatku, “Tapi mbak, saya mau minta bantuan mbak. Tolong saya Mbak, saya tidak tahu apa-apa disini. Saya takut nyasar. Mbak coba tanya sama teman atau pacarnya deh, Mbak nggak sendirian kan kesini?”

Aku menatapnya. Apa yang sedang dipikirkan orang itu?  Entah lah. Andai aku memilik kemampuan seperti Si Vampir tampan Edward Cullen, membaca pikiran orang. Tentu saja aku sudah bisa mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh si mas  yang kelihatan begitu memelas ini.

“Mbak, saya dari Kalimantan. Saya mau cari rempat yang jual kaligrafi. Kira-kira di PVJ atau BSM ada gak ya mbak? Mbaknya mau bantuin saya nganter saya ke BSM atau PVJ gak ya?”

Gila!!! Stress ini orang! Aku benar-benar kaget mendengar permintaannya. Hey! Dia pikir aku sebodoh itu mau mengantarkan orang yang tak kukenal, ke mall yang letaknya begitu jauh.

“Maaf Mas, saya benar-benar nggak tahu ada tempat seperti itu di PVJ atau BSM. Kalau mas mau kesana coba naik taksi aja. Saya lupa kesana pakai angkot apa soalnya.”

Aku sudah memeluk tas hitamku dengan erat. Aku benar-benar mulai takut. Aku takut dihipnotis atau ditipu atau apalah namanya itu, seperti yang sering kulihat di berita kriminal yang ditayangkan RCTI di siang hari. Apalagi ini menjelang lebaran, kebutuhan orang meningkat. Orang-orang yang berprofesi sebagai penipu atau penjahat pasti sedang beraksi sekarang. Aku benar-benar takut bila mereka sampai berfikiran aku adalah sasaran empuk bagi mereka. Yang paling membuatku takut adalah, bila orang yang berada di depanku sekarang melihatku sebagai seorang perempuan. astagfirullah ya allah, tolong jaga kehormatanku. Tolong lindungi aku.

“Tpi mbak, tolong saya. Mbak mau tolong saya ya, temani saya tanya sama orang yang ada disni.” Katanya sambil sedikit menundukan badannya.

“Ow ya udah, kita tanya sama si mbak itu aja,” jawabku sambil menunjuk ke arah seorang wanita yang bekerja sebagai penjaga toko.

“Kita tanya sama bapak itu saja Mbak,” jawabnya sambil menunjuk seorang laki-laki paruh baya yang entah datang dari mana dan sedang menuju toko pakaian remaja.

“Pak, Pak, saya mau minta bantuannya,” si mas itu pun memegang lengan bapak yang bertubuh gendut itu. 

Aku beranjak beberapa langkah, dia sudah menemukan orang untuk bertanya mengenai tempat yang dia cari, sepertinya aku harus segera pergi dari situasi yang membuatku tidak nyaman itu.

“Mbaknya mau kemana? Temani saya dulu mbak, jangan pergi dulu. Dia seperti mencegahku pergi. Kami bertiga seperti sedang membicarakan rahasia negara, karena jarak mereka yang begitu dekat denganku. Aku tidak nyaman.

“Maaf mas, jangan terlalu dekat, saya punya penyakit asma.”

Raut muka mereka berubah. Aku mundur dua langkah.

Si bapak yang dari tadi hanya diam, mulai berbicara. “Mau dibantuin apa Mas?”

“Pak, saya dari kalimantan, begini, saya baru pertama kali kesini. Kakek saya baru meingggal, dia mewariskan alquran kecil kepada saya, alquran pusaka, beliau berpesan agar alquran ini disimpan di museum, dimana ya Pak museum disini?.

Aku terdiam. Benar-benar ada yang tdak beres dengan orang ini. Baru beberapa menit yang lalu dia bertanya padaku dimana mall yang menjual kaligrafi, dan sekarang dia berkata hal yang sangat jauh berbeda pada laki-laki bertubuh pendek dan gemuk ini.

Jantungku berdetak semakin kencang. Tuhan... bagaimana caranya pergi dari sini tanpa harus membuat mereka tersinggung?? Aku hanya takut mereka tersinggung. Hey! Aku masih saja memikirkan cara yang sopan untuk mengakhiri pembicaraan yang tidak penting ini?,, Berhentilah menjadi orang yang terlalu baik ayu!!!! Bodoh!

“Oh,, di Gazibu ada Mas,” jawab si bapak itu dengan yakinnya.

“Pak, bisa tolong anterin saya ke Gazibu nya, saya tidak tahu cara kesana.”

“Naik taksi aja mas kesananya, biar mas nya nggak nyasar.” Jawabku singkat.

Aku hanya menguji mereka berdua, bila memang laki-laki ini hanya ingin menuju Gazibu, dia akan memilih menggunakan taksi tanpa harus bertanya sana-sini cara menuju Gazibu. Kalau dijelaskanpun, apa dia akan mengerti? Bukankah dia bilang baru pertama kali ke Bandung? Taksi selalu bisa menjaid pilihan yang pas bila kita sedang tersesat bukan?

“Begini  saja Mbak, kita kan sesama muslim harus saling bantu,  gimana kalau kita antar si mas ini ke Gazibu ?” tanya si bapak itu kepadaku sambil memegang pundak laki-laki yang sedari tadi masih memasang tampang memelas.

Jeder!! Aku seperti disambar petir, rasa takut semakin mengaliri tubuhkku. Oh Tuhan ! kenapa sore ini tidak ada satupun teman-teman dari The A Team  Forbid Melianature yang muncul? Atau bahkan teman-teman dari Great Team? Aku tahu bahwa tak memiliki janji dengan mereka bertemu disini, karena mereka sedang mengikuti NMT dan OPP di tempat lain, tapi.. apa tidak ada satupun orang yang kukenali sedang berseliweran untuk membeli perlengkapan lebaran disini? Andai aku melihat salah satu dari mereka saja, akan kujadikan itu sebagai alasan untuk meninggalkan dua laki-laki asing ini.

“Maaf Pak, saya ada keperluan lain, sebaiknya bapak saja yang menemani si Mas ini. Lagipula saya tidak tahu dimana museum yang Bapak maksud itu.”

“Tolong saya mbak, saya harus menyampaikan amanah almarhum kakek saya.” Lagi-lagi pemuda itu memelas.

“Gini aja dek, gimana kalau saya lihat pusaka peningalan kakek adek ? saya boleh lihat kan?

Gila! Aku semakin yakin ini ada yang tidak beres! Apa urusannya pria paruh baya itu dengan barang pusaka si mas dari kalimantan ini? Apa perlunya dia melihatnya?

“Oke Pak, tapi jangan disini ya Pak, saya tidak mau orang orang tahu, nanti ada yang berniat tidak baik, Alquran pusakanya ada di dalam tas saya. Kita lihat di tempat lain saja Pak.” Jawab si mas itu sambil memerhatikan ke sekeliling kami.

“Ya udah,, saya pulang dulu, ini udah sore, “ Aku mundur lagi dua langkah, dan sebelum aku memutar badan untuk menuju eskalator, pemuda tersebut sudah berada di depanku lagi. Oh satpam, kesinilah! Lihat aku! Aku sedang dalam keadaan yang tidak nyaman buatku. Aku takuuut...

“Mbak, ikut aja sama kami, saya mau Mbak menjadi saksinya. Mbak kan katanya mau nolong saya.” Bujuk si pemuda itu.

“Maaf mas, saya benar-benar ada urusan lain, saya nggak mau lihat alquran pusakanya, lagipula dari tadi saya sudah bilang saya nggak tahu tempatnya, saya juga ga bisa bantu apa-apa. Mas sama bapak ini saja.”Nada bicaraku sudah mulai tak beraturan, aku  takuut...

“Jangan begitu lah Mbak, kita harus saling bantu lah. Kasian si Mas ini.” Si Bapak itu pun ikut-ikutan membujukku.

Apa pentingnya buatku melihat Alquran pusaka peninggalan kakeknya?
Kenapa harus mengajakku melihat Alquran itu di tempat lain?
Kenapa si Bapak ini ikut-ikutan mengajakku?
Kenapa harus aku?
Bukankah mereka bisa pergi berdua saja?
Ada begitu banyak pertanyaan di otakku. Ada begitu banyak kata ‘mengapa’ yang sedang berlari-lari difikiranku.

“Kita ke lantai 4 saja, disana ada tempat minum kok,”. Lagi-lagi si Bapak itu berbicara pada kami.

“Maaf pak? Bukan tempat mabuk-mabukkan kan? Saya tidak pernah minum, haram Pak.”  Pemuda kurus itu menjawab dengan raut muka yang semakin memelas.

Tuhan! Cara berbicaranya semakin membuatku jijik. Apa yang sedang kalian mainkan ? Bila kalian ingin berbuat jahat, kenapa aku? Aku menggigil. Aku merogoh tasku. Berharap handphone ku masih bisa kunyalakan. Ingin menelpon seseorang untuk menolongku. Oh tidak! Lowbat!

“Oh bukan, itu food court kok, ayok kesana! Mbak juga harus ikut! Sama-sama kita lihat alqurannya.”

“Maaf Pak,, saya benar-benar tidak bisa!” Aku sudah mulai berbicara dengan tegas. Emosiku sudah mulai tak bisa kukendalikan. Ingin marah rasanya! Aku tak suka dipaksa. Aku sudah bersikap sangat baik dari tadi. Ada apa dengan orang-orang ini.

“Emangnya mbak mau kemana toh?” tanya si Bapak itu.

“Saya harus ke kampus pak!”

“Bukannya sekarang libur ya? Mbak pasti bohong.” Dia bertanya sambil mengeryitan dahi penuh lemaknya.

“Saya tidak bohong pak, saya ada conversation class. Cari orang lain saja!”

Aku memutar badan, hampir saja tangan pemuda itu memegangi lenganku seolah mencegatku untuk pergi, aku mengelak, aku tak suka! Sumpah demi apapun aku tak suka ada orang asing yang berani menyentuh ku! Aku terganggu. Aku berjalan menuju satpam, bila mereka masih berjalan ke arahku, aku akan berteriak.
Aku mempercepat langkahku dan menuju eskalator, aku menangis, aku takut! Tuhan aku takut!
Lantai 4 BTC adalah tempat yang luas dan besar yang dipenuhi dengan food court. BTC adalah fashion mall bukan food mall, karena itulah lantai 4 nya selalu sepi, bahkan di akhir pekanpun food courtnya tak ramai, apalagi di bulan puasa seperti ini. Aku pernah kesana...untuk menuju food court, harus melewati beberapa toko dan lorong yang cukup sepi. Selain itu ada lift yang bisa digunakan.
Tuhan,, apa jadinya bila aku mengikuti ajakan mereka untuk menolong pemuda itu? Apa yang akan mereka lakukan padaku? Niat buruk apa yang telah Engkau jauhkan dariku? Terima kasih telah melindungiku Ya Rabb...
Aku berjalan dengan langkah cepat menuju pintu utama BTC.  Sore ini sangat macet. Aku berjalan melewati barisan kendaraan yang terjebak macet. Air mataku masih menetes. Aku masih takut. Ingin berhenti beberapa saat, dimana saja, untuk menenangkan diri. Tapi aku takut.
Aku menaiki angkot berwarna biru. Dan benar saja! Angkot ini jurusan Sederhana-Cimindi. Astagfirullah! Aku sedang tidak stabil. Ini angkot yang salah!
Semua orang di angkot ini menatapku. Aku masih menangis. Aku tak mempedulikan mereka yang bertanya. Aku turun setelah melihat angkot yang sama menuju arah yang berlawanan dengan angkot yang sedang kunaiki. Aku seharusnya menaiki angkot Stasiun Hall-Sarijadi. Aku harus turun di Flyover di depan Bali Heaven, tempat dimana bisa kutemukan angkot jurusan Caheum-Ciroyom.
Di angkot Caheum-Ciroyom pun aku masih tertunduk lesu. Dan lagi-lagi semua mata seperti sedang menatapku lekat, sesekali aku mengangkat wajah dan melihat ke penumpang lain. Mereka menatapku dengan tatapan ingin tahu. Aku masih lemas, tak ingin berbicara sedikitpun. Satu-satunya yang kuinginkan sekarang adalah kamarku. Aku ingin meringkuk di bawah selimut tebalku. Aku ingin menenangkan diriku sambil mendengarkan lagu-lagu yang kusuka.
“Pak,,Kiri Pak!”
“Neng! Kalau mau nyetopin dari tadi, ini gimana cara berhentinya, macet begini!”
Memang salahku. Telat memberhentikan angkotnya. Tapi bisakah sopir ini tak memarahiku? Aku sedang tak ingin menerima perlakuan seperti itu. Hariku sudah cukup tak mengenakkan! Jangan ditambah lagi.
“Pak, bisakah tak usah pakai marah-marah?!!” aku turun sambil memberikan uang tiga ribua rupiah, mengucapkan terima kasih dan berlalu. Berlari kecil menuju pertigaan Hotel Scarlet.
Aku menaiki angkot  yang akan membawaku menuju Cisitu Lama.
Alhamdulilah, aku di kamarku sekarang.... menulis ini di blogku. Semoga kalian tidak mengalami hal yang kualami tadi.
#Teman-teman, sebentar lagi lebaran,, kebutuhan meningkat. Mereka yang berniat jahat pasti sedang mencari mangsa. Berhati-hatilah selalu dimana saja....





Tidak ada komentar:

Posting Komentar