Setiap kalah dan menang, berhasil dan gagal, datang dan pergi, jatuh dan bangkit serta tangis dan tawa yang terjadi dalam hidupku ibarat sebuah lonceng.
Lonceng yang menghasilkan getaran yang membawa pesan dari penguasa hidupku,
yang menghasilkan bunyi yang menyadakarku bahwa semua ini hanya memiliki satu tujuan.
agar aku merapat padaNya.
Pertengahan tahun 2009, di sebuah laboratorium di gedung Biologi FMIPA Universitas Negeri Padang. Kala itu aku merasa sangat penasaran melihat dua orang sahabatku yang sedang asyik berbalas surat. Mencoba mengintip meski sedikit susah karena jarak kami yang cukup jauh. Kami sedang melaksanakan praktikum salah satu mata kuliah dan berada di dalam kelompok praktikum yang berbeda.
“Apa yang mereka tulis di kertas itu?“ pikirku.
Kenapa mereka begitu asyik mencorat-coret kertas sehingga mengabaikan asisten praktikum yang sudah terlihat penat menjabarkan mekanisme praktikum. Kenapa mereka tertawa sendiri kala membaca balasan surat yang mereka terima.
Aku penasaran.
Aku iri.
Aku ingin terlibat.
Seketika, aku menghampiri Adelia yang tengah khusu’ menulis balasan untuk Merlin yang nampak celingak-celinguk melihat kearah kami.
“Woi! Ngapain lo? Bikin apaan? Puisi apa gossip?!” tanyaku.
“Ini loh Ay, gw lagi nulis surat buat Ncim (panggilan untuk Merlin),” jawab Adel sambil membenarkan posisi kaca matanya yang sedikit turun.
“Surat apaan? Lo kan bisa ngomong langsung. Nooh! Orangnya disono.”
“Ini beda Ay. Gini ya, gw sama Ncim lagi menceritakan kehidupan kita nanti. Jadi, pura-puranya ini tahun 2013, dan kita sudah lama nggak ketemu, nah kita bertemu lewat surat ini. Lucu deh Ay. Nih! Coba aja lu baca apa yang kita tulis dari tadi!” Jawab Adel sambil menyodorkan beberapa lembar kertas hvs yang penuh tulisan.
Aku menarik sebuah kursi kayu tanpa sandaran yang tidak jauh dariku. Mencari posisi nyaman untuk membaca surat-surat itu. Dan ya, seketika praktikum menjadi prioritas kedua buatku.
Menarik!
Apa yang ada di hadapanku sekarang sangat menarik buatku.
Menyenangkan menurutku bagaimana cara mereka membayangkan akan seperti apa kehidupan mereka 4 tahun ke depan.
Adelia, seorang teman dengan kepribadian dan pola pikir yang unik. Dia memimpikan sebuah kebebasan. Dia gemar berkeliling dan menjelajah negara-negara tetangga. Dan keinginannya untuk mengganti kewarganegaraan semakin memuncak setelah dia mengikuti program AISEC yang mengirimnya ke negeri Bolywood.
Dia yang mengawali ide gila itu. Saling berkirim surat seolah-olah sedang berada di tahun 2013 dan menikmati keindahan negera tempat menara Eiffel berada. Dalam surat pertamanya, Adel menceritakan betapa senangnya ia bisa menetap di negeri cinta itu. Hal yang selalu dia impikan.
Sedikit tertawa geli membacanya. Bagaimana dia menceritakan Paris seolah pernah menjelajah kesana.
Aku beralih ke surat balasan yang ditulis oleh Merlin. Merlin yang melankolis. Begitu juga dengan isi suratnya yang tak jauh-jauh dari cinta. Salah seorang teman yang selalu bisa menghibur kala galau karena cinta mulai mendera. Ia selalu punya saran dan solusi ‘nyeleneh’ untuk mendekati gebetan yang hendak dijerat. Ya, dia dan ide gilanya.
Merlin terlihat gembira mendapatkan surat dari Adel yang sudah hampir tiga tahun tidak bertemu dengannya. Setidaknya begitulah yang kubaca dari surat itu. Tidak seberuntung Adel, Merlin sempat koma selama setahun akibat kecelakaan dan terpaksa harus pindah ke Korea Selatan untuk recovery dari sakitnya.
“Oh Merlin, dari sekian banyak hal indah, kenapa harus koma selama setahun yang kau bayangkan untuk hidupmu beberapa tahun ke depan?”, pikirku.
Namun aku berusaha memaklumi hal itu. Tentu saja surat itu menggambarkan apa yang tengah dirasakannya. Seingatku, pada tahun 2009 itu dia masih dalam masa kecewa dengan seorang teman SMA yang telah menjadi mantan pacarnya.
Aku menarik nafas panjang begitu menyelesaikan membaca surat-surat mereka yang sudah berlangsung selama beberapa bulan. Jenius! Sangat bagus menurutku cara mereka menggambarkan kehidupan mereka. Detail. Rasanya aku ikut terbang ke tahun 2013 yang mereka ceritakan. Tak terasa telah 15 menit kuhabiskan untuk membacanya. Akupun mulai beralih pada praktikum yang sedari tadi kuabaikan.
Kurang dari 10 menit mengutak atik peralatan praktikum, lagi-lagi bayangan tentang tahun 2013 kembali menggodaku. Aku seperti telah tersihir oleh khayalan liar teman-temanku. Rasanya aku ingin terlibat dalam surat-surat mereka. Aku juga ingin menceritakan bagaimana hidupku nanti. Dan ya! Keputusanku bulat. Aku juga akan mengirimi mereka sebuah surat dari tahun 2013.
Aku masih ingat dengan jelas apa yang kutulis di surat-surat itu. Bagaimana aku mengawalinya. Aku mengkondisikan bahwa sejak tahun 2009 kami mulai jarang berkomunikasi karena sama-sama sibuk menyelesaikan skripsi dan berbagai aktivitas organisasi lainnya. Dan begitulah. Waktu berlalu tak terasa. Aku menulisi mereka surat untuk pertama kalinya ketika aku melanjutkan studi magisterku di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati-Institut Teknologi Bandung. Dalam surat itu setidaknya aku menceritakan bahwa aku berhasil menyelesaikan studi S1 ku dalam waktu kurun waktu 3,5 tahun pada bulan Maret 2011. Selanjutnya aku menuju Bandung dalam keadaan single dan melanjutkan studiku. Keinginanku untuk melanjutkan kuliah di salah satu kampus terbaik di Indonesia berhasil kuwujudkan sehingga bisa di wisuda pada tahun 2013. Tak berdiam diri cukup lama, aku pun mendapatkan amanah baru menjadi seorang dosen muda di Bandung sembari mengurusi butik-butik dan clothing line ku. Begitulah yang kubayangkan tentang hidupku di masa depan.
Aku sangat menikmati berbalas surat dengan sahabat-sahabatku itu. Bahkan kami berencana menjadikan surat-surat itu sebuah novel sehingga bisa dibaca oleh banyak orang. Surat kami, bayangan tentang masa depan kami. Tentu saja kami yang menentukan ending-nya. Sebuah ending yang cantik telah dipersiapkan untuk novel tersebut meskipun ada beberapa bagian yang belum rampung. Pada bulan Februari 2015, menjelang ulang tahunku yang ke 26, aku akan kembali ke Padang dan bertemu dengan Merlin, Adelia dan dua orang sahabat ku yang lain. Kami akan berkumpul setelah sekian lama tidak bertemu dan menghabiskan liburan singkat di Pulau Dewata. Liburan terakhirku sebagai seorang gadis, karena pada bulan yang sama aku akan menikah dengan laki-laki pilihanku dan memulai hidup baruku yang lebih bahagia sebagai seorang istri.
Dan benar saja.
Quote yang selalu terngiang ditelingaku selama ini ternyata benar. Mindset is doa. Bagaimana tidak? Nyatanya apa yang selama ini kubayangkan tentang kehidupanku benar-benar terjadi meskipun ada beberapa perbedaan. Apa yang terjadi padaku nyaris sama dengan apa yang aku tulis beberapa tahun silam.
Meskipun menghadapi banyak kendala, cemoohan dari beberapa orang senior yang tidak suka dengan keinginanku, dan tantangan dari beberapa orang dosen. Akhirnya niatku untuk membuktikan bahwa mahasiswa jurusan biologi juga bisa menamatkan studinya dalam waktu 3,5 tahun dapat terwujud.
Masih lekat diingatanku bagaimana semangatnya aku ketika mengajak teman-teman yang memiliki IPK hampir sempurna di kelasku, untuk sama-sama mengambil mata kuliah penulisan tugas akhir agar kami bisa lulus dalam waktu 3,5 tahun. Mereka menolak ajakanku. Bahkan ada salah seorang teman di kelas yang mengeluarkan kata-kata sindiran yang mengiris batinku. Sok pintar, kurang lebih begitu.
Sederhana saja niatku kala itu. Membukakan jalan untuk junior-juniorku agar mereka juga bisa seperti teman-teman di jurusan lain. Bisa wisuda cepat, menghemat waktu dan biaya. Bisa segera berkarier dan membantu orang tua mereka. Aku hanya ingin menunjukkan bahwa dengan IPK yang tidak sempurnapun aku bisa menyelesaikan studiku dengan cepat. Ingin menujukkan pada mereka, bahwa dengan mengikuti organisasi dan aktif di luar kampus, bukan halangan untuk tetap serius menyelesaikan studi. Bukan pintar saja yang dibutuhkan, tapi kemauan dan keinginan untuk menjadi berguna bagi banyak orang. Aku ingin membuat mereka sadar bahwa jika aku bisa melakukan sesuatu, maka mereka juga bisa.
Allah mendengarkan niatku. Hingga di dekatkan aku pada dua orang sahabat yang juga memiliki keinginan yang sama. Jonison Limbong dan Febri Doni. Meski berbeda program studi denganku, tapi mereka selalu disana. Menjadi tempat bertukar pikiran kala menghadapi beberapa ocehan dan sindiran senior yang merasa terganggu dengan usahaku. Dan Allah SWT yang Maha Baik memberikan aku kesempatan untuk dibimbing oleh dua orang dosen yang luar biasa. Bapak Ramadhan Sumarmin dan Bapak Ardi. Mereka tak pernah lelah mengingatkanku kala salah dan memberikan nasehat yang membantu membuatku kuat dalam melewati masa-masa itu.
Intensitas bimbingan yang cukup sering membuatku menemukan sosok seorang ayah pada Pak Ardi. Aku merasa nyaman ketika bercerita kepada beliau. Beliau tidak menempatkan dirinya seperti seseorang yang menggurui, tapi mengingatkan. Beliau mengingatkan, tidak menghakimi. Tak hanya soal studi, terkadang aku juga bercerita mengenai penyakit merah jambu yang biasa menjangkiti anak muda seusiaku. Seringkali menerka-nerka bagaimana rasanya memiliki seorang ayah. Membayangkan andai saja Papa masih hidup. Apakah Papa juga akan memberikan nasehat yang sama seperti yang diberikan Pak Ardi padaku? Entahlah.
Rasanya Allah sengaja mempertemukan aku dengan mereka. Dengan dukungan mereka, keluarga dan pertolongan Allah yang luar biasa. Aku berhasil. Kami berhasil. Untuk pertama kalinya di jurusan biologi FMIPA UNP, mahasiswanya bisa wisuda setelah 3,5 tahun menempuh studi pada bulan Maret 2011.
Ceritaku berlanjut ketika pada bulan November mengikuti seleksi calon mahasiswa S2 di Bandung. Dan bulan Desember 2012 aku dinyatakan resmi sebagai salah seorang mahasiswa Program Magister Biologi ITB yang memulai perkuliahan di semester genap. Untuk pertama dan terakhir kalinya di SITH menerima mahasiswa di pertengahan tahun ajaran.
Sebelum pindah ke Bandung dan memulai perkuliahan itupun aku mengalami peristiwa yang kala itu luar biasa biasa sakitnya. Dimulai ketika pacarku saat itu terang-terangan menyampaikan ketidaksukaannya akan niatku melanjutkan studi S2. Disaat yang sama ada rasa kecewa luar biasa yang menggelayutiku. Seseorang yang harusnya menyemangatiku untuk menapaki tahap baru dalam hidupku menjadi satu-satunya orang yang menentang impianku. Pertengkaran kami saat itu sepenuhnya mengubah penilaianku tentangnya. Sosoknya yang selalu ada untukku selama ini ternyata tidak cukup kuat untuk mendampingiku mewujudkan satu persatu keinginan yang telah kurajut sejak lama. Dia laki-laki lemah yang akan karam melihat pasangannya melesat jauh. Rasa kecewaku semakin bertubi-tubi ketika mengetahui dia mencurangi aku dengan seseorang di Jakarta-tempat dimana dia memutuskan mencari pekerjaan. Tanpa sepengetahuanku dia telah sangat dekat dan memiliki hubungan dengan perempuan yang menurut pengakuan beberapa orang ternyata memiliki prilaku yang memalukan. Tidak sekali dua kali aku mendengar cerita miring tentang perempuan itu. Ya, hingga aku sampai pada kesimpulan. Mereka sangat cocok. Tidak bisa kubayangkan bagaimana menyesalnya aku bila membatalkan niatku untuk melanjutkan studi S2 demi laki-laki tak setia seperti dia, yang bahkan mengawali pernikahannya dengan cara yang buruk. Dan benar lagi, Allah menyentilku agar sembuh dari kebutaan sesaat yang membuatku terlena.
Apa yang kuhadapi menjelang kepindahan ke Bandung seolah menamparku. Sesampainya di Bandung, kuhabiskan waktu satu bulan untuk merenung dan menata hidup baruku. Aku bertekad untuk menjadi perempuan yang lebih baik lagi. Tak ingin lagi mengabaikan keluarga dan sahabat demi seseorang yang disebut pacar yang sudah pasti akan menjadi mantan. Sejak saat itu aku berniat, tidak akan pacaran lagi. Setidaknya begitu niatku kala itu.
Antusias luar biasa menghinggapi hari-hari sibukku selama berkuliah. Aku seperti menemukan diriku yang baru. Terkadang kaget mengetahui bahwa aku telah bertransformasi menjadi Ayu yang mandiri dan sabar. Perlahan mulai bisa mengatur emosi dengan baik. Ya.. perlahan tapi pasti aku mulai menata diriku. Menyenangkan mengetahui bahwa aku belajar banyak disana. Apa yang aku kudapat selama kuliah disana jauh lebih banyak dibanding apa yang seharusnya kuterima di kelas.
Aku belajar mengenai hidup dan kehidupan
Aku belajar memahami orang-orang.
Aku belajar mengenal kepribadian orang.
Aku belajar bahwa kedewasaan tidak bisa ditandai dengan umur.
Aku belajar bahwa seorang yang selalu tersenyum kepadaku belum tentu teman.
Aku belajar bahwa seseorang yang berkata kasar padaku belum tentu musuh.
Aku belajar bahwa seorang teman sejati hanya bisa kau temukan kala kau sedang susah.
Aku belajar memaafkan orang yang menyakitiku.
Aku belajar menghadapi masalah dengan anggun.
Bukankah seseorang dikatakan sukses dalam proses belajarnya, ketika terdapat perubahan yang signifikan sebelum dan setelah dia belajar ? Belajar bukan tentang nilai yang tertera di raport atau transkrip. Belajar adalah tentang proses.
Proses belajarku semakin lengkap ketika Allah lagi-lagi menghadirkan sosok seorang ayah untuk membantuku melewati masa-masa sulit. Beliau adalah pembimbing II tesisku, Bapak Ramadhani Eka Putra. Terlalu banyak hal negatif yang kudengar mengenai beliau sebelum akhirnya aku mengenalnya lebih dekat. Ada seseorang yang selalu menceritakan hal buruk tentang beliau. Apa yang kudengar terkadang tampak benar untukku tapi lantas tak membuatku mudah percaya. Aku selalu berusaha untuk tidak menilai seseorang dari luarnya saja. Karena aku tahu persis rasanya bagaimana dinilai buruk oleh seseorang yang belum mengenalku, maka aku tak ingin melakukan hal yang sama.
Memang benar, Pak Rama adalah sosok yang tidak banyak bereskpresi. Terkesan galak dan cuek sehingga beberapa mahasiswa menghindari berurusan dengan beliau. Bahkan salah seorang mahasiswa S1 sempat mengatakan bahwa beliau adalah sosok dosen yang antisosial dan autis jika telah berada di ruangannya.
“Ya… cukup yang kudengar. Saatnya membuktikan apa yang selama ini kudengar,” pikirku.
Aku memberanikan diri menghampiri beliau yang kala itu tengah berada di ruangannya. Aku harus memperkenalkan diriku, karena menurut Ketua Prodi, beliau akan membimbingku selama menyelesaikan tesis.
“Assalamualaikum. Permisi Pak, Hmm.. Lagi sibuk nggak Pak?”, tanyaku sambil berdiri dengan lutut yang sedikit gemetar di depan pintu ruangannya yang berada di lantai 3 gedung SITH.
Beliau yang sedari tadi terpaku pada layar laptop Toshiba 12 inchi kemudian beralih menatapku. Dengan tatapan tanpa ekspresi beliau melihatku dari ujung kaki hingga kepala seraya bertanya, “Ya, ada apa ya?”.
Sontak saja nyaliku ciut. Sepertinya beliau lupa cara berbasa-basi. Apa salahnya mengeluarkan sedikit ekspresi atau menyematkan senyum di wajahnya. Tapi tak menghentikan tujuan utamaku menemui beliau. Hingga berhasil kusampaikan apa yang seharusnya beliau dengar. Setelah berbincang selama 10 menit akhirnya aku keluar dari ruangan itu dengan senyum lebar karena beliau menyetujui menjadi pembimbing II tesisku dan memintaku kembali 3 hari lagi untuk mengantarkan proposal penelitianku-meski aku belum terlalu yakin akan mengangkat tema yang kuajukan.
Bagiku bertemu dengan beliau adalah hal lain yang harus kusyukuri. Tak jauh berbeda dengan pembimbing di kala menyelesaikan skripsi, beliau juga menjadi tempatku meminta pendapat dan mencari solusi untuk kondisi yang sedang kuhadapi. Aku bercerita banyak tentang kuliahku, dan beberapa cerita tentang keluarga dan masalah percintaan. Terkadang kami berdebat melalui BBM untuk membahas penelitian atau paham yang kami yakini. Tak jarang beliau membuatku kesal karena tingkahnya yang menyebalkan dan kebiasaannya meletakkan dokumen penting sembarangan. Tidak jarang aku dibuat kesal karena beliau mengabaikan tesis yang telah kuperbaiki dengan alasan lupa, padahal beliau memeriksa tesis mahasiswa lain yang bukan mahasiswa bimbingannya. Dan beliau mengetahui itu. Pak Rama selalu tahu ketika aku marah atau kesal padanya. Ya,, sepertinya wajahku memang seperti buku yang terbuka. Terlalu mudah dibaca apa yang sedang kurasa.
Interaksi dengan beliau telah menjawab pertanyaanku tentang cerita yang telah kudengar jauh sebelum mengenalnya. Bahwasanya tidak benar jika dikatakan bahwa ia adalah sosok dosen yang selalu memanfaatkan mahasiswanya, bahkan dia adalah dosen yang selalu membantuku. Yang menaruh kepercayaan padaku. Yang tidak pernah meremehkan mahasiswanya. Tak terhitung bantuan apa saja yang telah beliau berikan padaku. Tak jarang beliau memberikan jatah makan siangnya untukku dan biskuit untuk menemani bergadang di kampus. Beliau yang tak bosan mendengar rengekanku ketika merasa jenuh dan lelah menyelesaikan tesis. Beliau yang selalu kucari ketika sedang merasa buntu karena berharap solusi darinya. Beliau yang selalu kuhujani dengan curhatan mengenai kekecewaanku pada seseorang yang sedang dekat denganku. Bahkan beliau masih berdiri di tempat yang sama, ketika beberapa orang memilih berdiri di tempat yang berlawanan denganku, ketika aku menjadi tertuduh untuk hal yang tidak kulakukan. Sesuatu yang tak pernah bisa kulupakan, beliau masih percaya padaku disaaat orang-orang tidak mampu lagi melakukannya.
Adalah tidak benar jika dikatakan beliau orang yang tidak bertanggung jawab, pelit, curang dan lainnya. Aku membuktikan sendiri. Bapakku tidak seperti itu.
Perlahan, dosenku itu menjelma menjadi sosok yang menyenangkan dan humoris. Aku mengagumi kecerdasannya dan ide-ide gila yang dihasilkannya. Entah darimana beliau bisa menemukan ide-ide sederhana namun cerdas yang selalu dituangkannya dalam proposal penelitian. Tanpa beliau sadari, aku belajar banyak dari caranya menghadapi masalah, cara dia memaafkan orang-orang yang berkata tidak baik tentangnya, aku belajar cara membuat proposal penelitian dan hal-hal yang berhubungan dengan itu. Beliau mempercayakan padaku untuk mengurusi beberapa penelitiannya sehingga aku belajar banyak. Entahlah, tapi menurutku begitulah cara dia mengajariku. Dia membiarkanku belajar banyak darinya.
Ada dua hal yang pernah beliau sampaikan yang masih kuingat hingga kini.
“Semua orang bisa melihat keburukan orang lain, tapi hanya orang-orang special yang mampu melihat kebaikan dari orang-orang yang dinilai buruk.”
“Don’t trust people a hundred percent because you wont ever know how mean they could be.”
Memang benar jika ada yang mengatakan bahwa Allah mempertemukan kita dengan seseorang untuk alasan khusus. Allah telah mempertemukan aku dengan Pak Rama yang telah memberikan begitu banyak kesempatan padaku. Aku ingat tawaran yang beliau dua minggu sebelum ujian tesisku, untuk menjadi dosen di kampus baru yang letaknya di tepi Danau Toba. Kala itu aku merasa dipercaya meski aku sendiri belum yakin mampu memenuhi tawarannya. Beliau yang seolah tahu segalanya sering menjadikan kegalauanku sebagai bahan lelucon kala berkumpul dengan teman-teman dan mahasiswa bimbingannya yang lain. Menyebalkan melihat ekspresi beliau saat membacakan status BBM ku pada orang-orang. Tidak sedikit dari mahasiswa S1 disana yang mengetahui bahwa aku ditinggal nikah oleh mantan pacarku dulu. Dan yang menyebalkan adalah beliau selalu mengatakan bahwa aku akan menikah dengan orang yang umurnya jauh lebih tua dariku. Dan ya, untuk yang satu itu aku harus mengaminkan karena aku memang menginginkan menikah dengan laki-laki yang jauh lebih dewasa dariku.
Di bawah bimbingan beliau, dengan semua kekurangan yang kumiliki, dengan semua kendala yang kutemui baik yang berasal dari diriku maupun dari lingkungan luar, aku berhasil menyelesaikan studiku setelah 3 semester berjibaku dengan 39 sks mata kuliah. Dengan semua nasehat, bantuan dan dukungan beliau dan pembimbing I tesisku, akhirnya aku lulus pada bulan Juni dan diwisuda pada bulan Juli 2013.
Rasanya tidak ada alasan untuk tidak bersyukur. Rasanya tidak ada alasan untuk tidak mendekat pada penguasa hidupku. Allah selalu memberiku kesempatan untuk belajar. Allah sangat sayang padaku. Karena lagi-lagi dia Dia menjawab doaku. Setiap harinya setelah aku menghapus bersih semua kenangan lalu dan memutuskan melanjutkan hidupku, aku berdoa agar dipertemukan dengan laki-laki yang lebih dewasa, yang mampu membimbing dan mendekatkanku padaNya. Setelah ulang tahun ke 24, aku didekatkanNya dengan seseorang yang sampai hari ini telah mengajariku banyak hal. Seseorang yang membuatku terbiasa melakukan sholat tahajud dan dhuha, yang selalu menemaniku shaum senin dan kamis dan yang selalu berpesan, “Merapat sama Allah” selepas mencurhatinya dengan masalah yang kuhadapi.
Bersamanya aku perlahan belajar bagaimana seharusnya seorang perempuan bersikap, berbicara dan berteman dengan laki-laki yang bukan muhrim. Aku suka caranya menjawab berbagai pertanyaan yang kutanyakan. Aku yang banyak bertanya, yang penasaran untuk setiap hal yang belum kupahami dengan benar. Dia menjadi seseorang untuk berdiskusi sebelum memutuskan untuk mengambil tawaran pekerjaan yang datang padaku. Keputusanku untuk mengikuti tes CPNS di UIN Ar Raniry Banda Aceh bulan November lalu juga didukung penuh olehnya. Bahkan aku harusnya sangat berterima kasih untuk bantuannya ketika menemaniku mencari tiket pesawat menuju Aceh.
Masih kuingat jelas kronologinya. Kala itu aku masih menunggu pengumuman hasil ujian tahap I CPNS yang kuikuti, tidak ada kabar pasti kapan pengumuman itu akan diumumkan. Hingga pada tanggal 19 Desember lalu, tepat 10 menit selesai melaksanakan shalat subuh aku mendapatkan sebuah sms dari seorang teman di Banda Aceh yang menanyakan hasil ujianku. Aku heran begitu mendengar pengakuannya bahwa dia tidak lulus, sementara aku sama sekali belum mengetahui hasilnya. Segeralah kubuka web resmi kampus tersebut yang malam sebelumnya masih kulihat. Namaku disana. Aku lulus TKD dan harus mengikuti TKB yang akan dilaksanakan tanggal 20 Desember 2013. BESOK! Aku harus pergi hari itu juga jika ingin mengikuti tes tahap 2 yang akan dilaksanakan pukul 8 pagi di esok hari.
Tanpa persiapan apa-apa, belum ada tiket di tanganku, terlebih aku belum packing karena sesuai pengumuman sebulan yang lalu, hasil CPNS itu baru akan diumukan menjelang tanggal 24. Kira-kira begitu. Aku yang sedang merasa gembira sekaligus cemas memutuskan untuk menghubungi keluargaku di Padang dan Bukittinggi guna menyampaikan kabar yang mereka tunggu. Keluargaku terdengar panik begitu mengetahui bahwa aku harus sampai di Banda Aceh hari itu juga sementara tiket belum di tangan. Tak membuang waktu terlalu lama, aku segera mandi dan bersiap pergi bandara untuk mencari tiket. Sedangkan dia? Setelah berhasil membelikan tiket pesawat online dengan tujuan penerbangan dari Kuala Namu menuju Banda Aceh untuk pukul 20.25 WIB, ia segera mengganti baju dan bergegas menuju rumah kos ku di Cisitu Lama. Dia hanya memberikan waktu 10 menit buatku untuk mengemasi barang-barang yang akan kubawa ke Banda Aceh. Tanpa pikir panjang aku menarik beberapa pakaian dari lemari, peralatan mandi, sepatu dan yang tidak boleh ketinggalan adalah kartu peserta ujian beserta alat-alat tulis. Panik. Satu kata yang mewakili kondisiku saat itu.
Kamarku yang terletak di lantai dua memaksaku untuk berusaha ekstra ketika harus berlarian dengan rasa panik luar biasa untuk menuruni tangga dan menuju teras karena dia yang akan mengantarku ke bandara sedari tadi telah menungggu. Kepanikanku sempat sirna ketika di perjalanan menuju bandara, kuterima sms dari seorang teman yang mengabarkan bahwa ada tiket menuju Medan untuk jam 11 siang, namun harus berangkat dari Jakarta. Aku sangat senang mendapat sms itu. Perlahan kulirik jam tanganku yang berwarna gold, dan seketika senyumku runtuh.
“Bagaimana mungkin aku bisa sampai ke bandara Soekarno Hatta sebelum pukul 11,sementara estimasi waktu yang dibutuhkan untuk sampai kesana minimal 4 jam?” tanyaku.
Dia diam. Tak menjawab. Lebih tepatnya karena dia tahu memang sesuatu yang tidak mungkin untuk sampai ke bandara tepat waktu.
“Mustahil kan? Mustahil!”. Aku mulai merasakan perlahan semangatku menguap dari tubuhku. Air mataku mulai meluncur.
“Sudah!”, katanya.
“Kita cari solusi lain. Tak akan mungkin bisa dikejar penerbangan itu. Kita terus berusaha”.
Bisa kutangkap dari nada suaranya bahwa dia juga sedang panik, namun berusaha menyembunyikannya meski tidak berhasil.
Akupun menyeka air mataku. Menangis tak akan menyelesaikan masalahku. Aku memang panik. Sedikit putus asa, namun bukan aku namanya bila gampang menyerah. Aku selalu yakin bahwa pertolongan Allah itu dekat dan nyata. Aku tetap optimis Allah akan memberikan kesempatan padaku.
Di perjalanan, kami tak henti menghubungi beberapa agen travel yang belum sempat dihubungi. Namun hasilnya nihil. Kami mencoba beberapa kemungkinan penerbangan, seperti dari Bandung menuju Padang, kemudian dari Padang menuju Medan untuk selanjutnya dari Medan menuju Banda Aceh menggunakan tiket yang sebelumnya sudah dibeli. Ide lainnya adalah dari Jakarta menuju Surabaya, Surabaya ke Medan dan dari Medan ke Banda Aceh. Dan masih ada beberapa kemungkinan penerbangan yang sudah kami susun. Pendek kata, tugas kami hanyalah mencari penerbangan yang bisa mengantarkanku ke Medan sebelum pukul 20.00 WIB. Semuanya penuh. Tentu saja, karena hati itu adalah adalah H-4 menjelang libur natal.
Sesampainya di bandara, sambil membawa sebuah koper berwarna ungu dengan isi yang berantakan, kami menjajali satu persatu setiap loket maskapai penerbangan yang sudah buka, karena masih ada sekitar 3 loket yang tutup. Terang saja, jarum pendek jam dinding masih di angka 8. Beberapa orang teman mulai memberi ide via BBM agar aku langsung menuju ke bandara Soetta dan menunggu kalau-kalau ada yang membatalkan penerbangan sehingga aku bisa menggantikannya. Bahkan ada seorang teman lama yang menyarankan agar menanyakan tiket kelas bisnis pada maskapai penerbangan tertentu, karena menurutnya terkadang pihak maskapai tidak membuka kelas bisnis itu, namun bisa diminta untuk kondisi urgen. Tepat sebelum aku mengiyakan ide temanku, dia yang sedari tadi berdiri di depan loket Lion Air terlihat berlari ke arahku.
“Ni, ada penerbangan Lion jam setengah sepuluh. Kita tunggu saja ya, karena menurut petugasnya sering ada yang membatalkan penerbangan.”
Aku diam. Masih berpikir.
“Jika tidak ada yang membatalkan, kita langsung menuju Cengkareng. Mudah-mudahan ada yang cancel”, sambungnya.
“Oke!”, jawabku singkat.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 09.25. Aku kembali berjalan menghampiri loket Lion Air. Itu adalah kelima kalinya kuhadapkan wajahku pada petugas loket yang sudah terlihat kesal. Pertanyaanku sama. “Mas, sudah ada yang cancel?”. Dan jawabannya masih saja sama, “Belum ada Mbak.”
Kakakku yang berada di Padang juga telah menghubungi beberapa agen penerbangan untuk memperoleh tiket dari Padang menuju Banda Aceh atau dari Padang menuju Medan. Nihil. Aku menyampaikan ide yang kudengar dari temanku. Dan kakak mengatakan bahwa ia akan mencoba bantuan temannya.
Kakiku mulai lemas. Aku sudah tak mampu berdiri. Aku menyandarkan tubuhku pada sebuah tiang besar dan duduk di lantai. Aku sudah hampir menyerah. Kusempatkan meng-update status BBM, “Mungkin belum rezekiku.” Tak lupa kuselipkan emoticon sedih disana. Tentu saja aku merasa sedih. Jika tak akan lulus, setidaknya aku mencoba sebisaku. Bukan kalah sebelum berperang.
Namun dia yang dari pagi belum sempat mandi karena buru-buru menuju kosan, menghampiriku dan mengajak untuk segera menuju travel yang bisa mengantarkan kami ke Soetta. Aku hanya mengikuti ajakannya. Aku sudah pasrah. Tak ada lagi ide yang hinggap di kepalaku.
“Aku sudah berusaha Ya Allah, sekarang terserah padaMu”, batinku.
Pukul 10.00 WIB dan kami sedang duduk di sebuah ruang tunggu travel yang berlokasi di daerah Pasteur. Kurang dari 10 menit lagi kami akan menuju bandara dan melanjutkan pencarian tiket yang tertunda. Handphone ku bergetar. Ternyata ada seseorang yang menghubungiku via BBM. Kak Suci, teman kantor kakakku. Ibarat angin di terik mentari, dia menyampaikan kabar yang sangat berarti buatku kala itu.
“Dek, Alhamdulillah kakak dapat tiketnya. Kelas bisnis di Lion Air untuk jam setengah 5, harganya 2,9 juta. Mau diambil nggak?”.
“Tentu saja!”, pekikku. Segera kubalas chatingannya itu. Aku berterima kasih. Aku menangis. Rasa syukur yang luar biasa membanjiriku kala itu. Benar. Pertolongan Allah sangat dekat.
Aku merebahkan tubuhku pada kursi no 5 di travel itu. Kurogoh handphone dari dalam saku dan mulai mengetik pesan untuk beberapa orang teman yang sedari tadi telah kuteror dengan pertanyaan yang sama mengenai tiket. Aku ingin berterima kasih dan mengabarkan bahwa tiket yang kucari telah kutemukan. Tidak lupa di akhir pesan, kuminta mereka mendoakan agar tes tahap dua yang akan kuhadapi besok berjalan dengan lancar.
Dia yang duduk di kursi yang berjauhan denganku dan terlihat letih itu menatapku sambil melukiskan senyum tulus di wajahnya.
“Selamat ya Ni, Uni pasti lulus.”, katanya.
Aku tidak tahu harus berkomentar apa. Aku sibuk mengirimkan pesan kepada orang-orang yang menurutku telah membantuku hari itu. Tapi aku bahkan belum berterima kasih padanya.
Sepanjang perjalanan menuju bandara, aku terdiam dan berpikir. Sesekali kulihat dia yang sedang tertidur. Sepertinya dia lelah. Aku mulai berpikir tentang kami. Akan kemana semua ini? Hingga saat ini aku belum bisa menebak maksud Allah menghadirkannya dalam hidupku. Namun, hari ini aku bersamanya dan merasa nyaman dengan pilihan yang kuambil meski aku tidak tahu apa yang akan terjadi esok. Aku hanya berharap agar Allah memberikan kami jalan yang terbaik. Tak pernah lepas aku berdoa agar diberikan pendamping yang akan mengajakku menuju surga.
Penerbanganku malam itu berjalan mulus. Seperti kedatanganku sebulan yang lalu, aku juga menginap di penginapan yang sama yang hanya berjarak 50 meter dari gerbang kampus Ar Raniry. Aku senang berada disana, Ada banyak makanan di sekitar penginapan. Ada banyak orang yang menginap disana. Bahkan orang-orang yang berjualan dan tinggal di sekitar penginapan itu telah mengenalku. Mereka terlihat senang begitu mengetahui aku akan mengikuti tes kedua di kampus islam itu.
Pukul 07.00 WIB aku sudah keluar dari kamar dan menuju sebuah warung makan di sebelah penginapan. Ada beberapa orang bapak-bapak dan pemuda yang tengah menikmati sarapan pagi mereka. Aku langsung saja bergabung dan memesan sepiring lontong kari ayam. Seorang pria paruh baya yang berjualan kopi disana tanpa pikir panjang membuatkan segelas kopi kesukaanku. Aku memang selalu minum kopi buatannya selama berada di Banda Aceh. Tidak lupa dia meminta tamunya yang sedang makan untuk mendoakan agar aku bisa mengerjakan ujianku dengan baik, sehingga bisa lulus, menjadi dosen dan menetap disana. Aku menemukan keramahtamahan yang tulus disini, alasan lain yang membuatku ingin tinggal di Aceh.
Hari ini aku menyempatkan menulis beberapa peristiwa dalam hidupku yang tak pernah lepas dari campur tangan Ilahi. Hampir keseluruhan cerita yang kutuangkan dalam suratku 4 tahun yang lalu diizinkanNya untuk terjadi. Ketika itu kutulis bahwa aku menjadi dosen di Bandung, meski nyatanya aku dinyatakan lulus sebagai dosen untuk PTN di Banda Aceh.
Melalui tulisan ini aku berharap bisa menyampaikan apa yang ingin kusampaikan. Bukan untuk menyuruh mengambil pilihan yang sama dengan yang kuambil. Bukan untuk menjalani kehidupan yang sama. Aku bahkan yakin banyak dari mereka yang memiliki impian yang jauh lebih indah, impian yang jauh lebih hebat. Aku hanya ingin mengingatkan mereka, bahwa tidak ada satupun yang mustahil akan terjadi dalam hidup kita, semua mungkin atas pertolongan Allah yang Maha Baik.
Aku ingin mereka selalu ingat bahwa mereka berhak bermimpi setinggi apapun, sebesar apapun, karena tidak ada orang yang berhak menghakimi impian orang lain.
Aku ingin mereka yang sedang terjatuh baik itu karena cinta atau karena permasalahan keluarga, untuk segera bangkit dan berlari. Masih ada begitu banyak kesempatan yang terbuka. Selagi masih ada waktu maka masih ada kesempatan yang bisa dimanfaakan.
Aku tidak pernah membayangkan bahwa diriku akan menjadi seseorang yang gagal. Aku tidak pernah membayangkan bahwa jalanku akan sempit. Aku hanya membayangkan yang indah-indah untuk hidupku. Aku berprasangka baik pada Tuhanku. Aku tidak pernah menyangka keinginanku untuk bisa merasakan kuliah di Bandung bisa terwujud karena tidak ada satupun keluargaku yang mengetahuinya. Aku hanya bisa menangis di kamar setelah mendengar ocehan temanku yang mengatakan bahwa ia akan segera dikirim ayahnya untuk melanjutkan S2. Ayahnya yang punya banyak uang. Sementara ayahku? Telah tenang di alam sana.
“Aku ingin sekolah lagi Ya Allah, aku ingin sekolah lagi.” Cuma itu yang bisa aku ceritakan pada tuhanku.
Bukan karena aku pintar.
Buka karena aku hebat.
Bukan karena aku kaya.
Bukan karena aku cantik.
Sama sekali bukan.
Aku belum pintar, belum hebat, belum kaya, dan belum cantik, meski aku akan menjadi seperti itu nantinya heheh#tengil.
Aku tak merasa lebih hebat dari kebanyakan teman-temanku. Satu hal yang aku kagumi dari diriku adalah semangat luar biasa yang terus menyala itu. Aku percaya, jika Allah mengizinkan hambaNya memiliki impian yang besar dan indah, itu karena Allah telah menakdirkan hambaNya itu untuk mampu mewujudkannya.
Iya.
Masih banyak impianku yang belum kuwujudkan, yang sudah menunggu untuk segera diraih.
Aku ingin menjadi professor. Melahirkan generasi-generasi hebat nantinya. Mencetak mahasiswa-mahasiswa yang tak berpikiran dangkal, yang akan mengejar impian tertinggi mereka.
Aku ingin menjadi penulis. Menghasilkan tulisan-tulisan pembakar semangat anak muda yang sedang galau akan jati dirinya. Menjadi teman mereka lewat tulisanku. Menjadi pengingat mereka bahwa apapun kondisi mereka, jangan pernah berhenti percaya bahwa Allah itu ada dan dekat.
Aku ingin memiliki clothing line sendiri. Memiliki butik dan toko pakaian dengan namaku. Menyalurkan kegemaranku merancang pakaian yang sedari dulu tak kulakukan.
Aku ingin memiliki café yang menyediakan berbagai olahan kopi, agar aku tak perlu mencari tempat untuk menikmati kopi kesukaanku.
Aku ingin memiliki restoran sendiri yang semua hidangannya dibuat sesuai resep dariku. Menyalurkan kegemaranku memasak. Memberikan makanan dengan cita rasa yang enak dengan bahan-bahan yang sehat.
Aku ingin mendirikan sebuah sekolah. Dimana siswa-siswinya tidak perlu terkekang dengan aturan yang hanya membuat mereka memberontak. Sekolah yang mendidik dengan penuh kasih, yang menghargai setiap cita-cita mereka.
Aku ingin ini. Aku ingin itu. Masih banyak hal-hal yang ingin kulakukan.
Tapi tanpa lupa kodratku, aku tetap menginginkan menjadi ibu terbaik kebanggaan anak-anakku kelak. Yang akan mendidik dan mengajarkan mereka semua kebaikan yang harus dimiliki oleh anak-anak sholeh dan sholehah. Aku juga sangat ingin menjadi istri yang sholehah, yang menentramkan hati suami bila sedang berada di dekatku, menjadi tempat berbagi dan bercerita, menjadi tim solid yang bersama-sama akan menuju surgaNya..
Aku heran jika masih ada generasi muda yang menolak untuk melanjutkan studinya padahal kesempatan terbuka luas. Ada ratusan beasiswa yang siap membiayai studi mereka hingga selesai. Jika ingin mencari kerja yang menjadi alasan rasanya tidak ada satupun manusia di bumi ini yang tak ingin bekerja dan menghasilkan uang. Kenapa tidak bersabar selama dua tahun dulu sebelum memutuskan bekerja? Kenapa tidak mematangkan diri dulu sebelum memutuskan untuk menikah atau bekerja? Tapi entahlah, memang tidak semua orang memiliki passion yang sama dengan pendidikan. Akupun hanya bisa berpendapat. Hidup mereka pilihan mereka.
Namun akan sangat disayangkan jika anak muda menaklukan dirinya pada cinta. Pada seseorang yang belum tentu menjadi bagian dari masa depannya. Aku pernah menjadi gadis bodoh yang membiarkan diriku dikuasai virus merah jambu itu. Aku mengerti bagaimana rasanya ketika telah benar-benar merasa nyaman dengan seseorang dan untuk sesaat merasa bahwa he is the one. Dan rasanya hampir semua orang pernah mengalaminya.
Jika boleh kuberi nasehat gratis pada gadis-gadis muda yang sering kulihat menampilkan status galau nya di facebook, path atau twitter, rasanya ingin sekali kukatakan bahwa apa yang dilakukannya saat ini adalah sia-sia belaka. Belum tentu, belum tentu dia yang membuatmu tidur tak nyenyak dan makan tak enak itu akan menjadi pasanganmu kelak. Belum pasti dia yang membuatmu menangis karena kau merasa diabaikan itu akan menjadi pendampingmu kelak. Buat apa kau habiskan waktumu yang seharusnya kau gunakan untuk belajar dan bermain bersama teman-temanmu itu, untukknya yang bahkan tak tahu cara menghormatimu? Kau hadiahkan padanya waktumu yang sangat berharga itu sementara belum ada jaminan bahwa dia akan selalu bersamamu?
Tapi rasanya aku tak akan berhasil melakukannya. Sok suci. Sok bijak. Sepertinya kata-kata seperti itu yang akan dihadiahkan padaku. Biarkan mereka berproses. Lagipula, kusadari penuh bahwa aku berada di kondisiku saat ini karena telah melewati semua itu. Ini kuperoleh setelah melalu proses panjang dalam beberapa tahun di hidupku. Anggaplah pemahaman ini adalah oleh-oleh masa mudaku. Aku belajar banyak dari apa yang telah terjadi padaku, dari kondisi yang tak akan kubiarkan terjadi pada anak-anakku nanti. Cukuplah ibu mereka saja yang harus mengenal salah dulu untuk tahu mana yang benar.
Setidaknya yang perlu aku syukuri adalah pilihanku untuk selalu berdiri begitu aku terjatuh, Aku berhasil melewati masa-masa sulitku karena pilihanku untuk tidak menyesali apa yang telah terjadi, karena rasanya memang tidak ada yang perlu kusesalkan. Aku berusaha melampiaskan kecewaku dengan menyibukkan diri pada studiku, pada kegiatan lain yang menurutku lebih bermanfaat. Aku ingat ketika untuk pertama kalinya putus cinta setelah kuliah, dalam kondisi galau yang berkepanjangan, adik angkatku yang penuh talenta itu, Robi, mengajakku untuk mengikuti pemilihan duta wisuda di kota Payakumbuh. Siapa sangka ternyata aku bisa membawa dua gelar sekaligus, Runner Up II dan Uni Favorit pada tahun 2009 itu. Dengan merasakan virus merah jambu itulah aku merasa semakin terpacu untuk menjadi seseorang yang lebih baik. Yang membuat mereka yang telah berlalu dariku menyadari bahwa mereka memang tidak pantas berada disampingku.
Aku belajar banyak dari apapun yang telah terjadi.
Dari setiap kesalahanku.
Dari setiap khilafku.
Dari setiap masalahku.
Dari setiap kesalahan yang dilakukan orang-orang padaku.
Aku telah belajar bahwa memaafkan kesalahan mereka jauh lebih menenangkan dan mendamaikan.
Bagiku kesalahan yang diperbuat orang-orang padaku adalah pelajaran berharga. Pasti ada alasan tersendiri bila mereka membenciku atau melakukan sesuatu yang buruk padaku. Bisa saja karena khilafku atau karena kekeliruan mereka. Bukankah Nabi Muhammad SAW yang sudah dijamin masuk surga saja masih dibenci oleh orang-orang? Apalagi aku yang hanya manusia biasa yang masih dalam proses memperbaiki diriku.
Tidak ada yang sia-sia. Pertemuanku dengan orang-orang di dalam hidupku adalah bagian dari skenario Allah untukku. Rasanya begitu banyak teguran yang kuterima, yang membuatku semakin ingin memantaskan dan menghebatkan diriku.
Adalah salah jika setelah nasi menjadi bubur lantas kita membuang bubur tersebut. Kenapa tidak ditambahkan sedikit air kaldu, garam dan merica? Diberi taburan ayam suwir dan bawang daun. Tentunya akan menjadi bubur ayam yang enak bukan?
Jangan hanya karena telah melakukan kesalahan lantas kita kalah dan menyerah. Jangan tunduk kepada penilaian manusia karena Allah satu-satunya yang berhak menghakimi kita.
Bangkitlah setelah terjatuh. Perbaiki kesalahan dan lanjutkan hidup dengan cara yang lebih baik. Jangan hiraukan manusia yang dengan beraninya mengacungkan telunjuknya padamu dan melupakan ketika dia melakukan itu empat jarinya yang lain sedang menunjuk dosanya yang jauh lebih hina dari yang kau lakukan.
Mari kita berlari mengejar kasih Ilahi.
Akupun sedang melakukan hal yang sama.
Perlahan merangkak menujuNya meski aku masih berdoa agar Dia memberiku kekuatan untuk berlari.
Aku sudah tertinggal dibanding merka yang telah lebih dulu merebut cintaNya.
Namun bukan Ayu namanya jika mudah menyerah.
Seperti motto hidup yang selalu kupegang sejak dulu, Never Give up!
Apa yang kita peroleh sekarang adalah hasil dari keputusan kita di masa lalu.
Dan apa yang akan terjadi di masa depan bergantung kepada pilihan dan tindakan kita sekarang.
Kita penentu masa depan kita teman-teman.
Semoga ada sesuatu yang bisa dipelajari dari apa yang telah kutulis hari ini.
Mohon maaf bila ada kata-kata yang tidak berkenan.
Ayu Nirmala Sari
Februari, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar