Perjalanan menuju RSUD Teukur
Umar di Calang Kabupaten Aceh Jaya memakan waktu hampir 4 jam. Setelah melewati
jalan-jalan berkelok-kelok, naik turun bukit dan hamparan laut nan indah,
akhirnya kami sampai di rumah sakit pada pukul 12.47 WIB. Ada rasa yang
berkecamuk di dalam dada selama di perjalanan. Sambil memeluk erat Shanum, saya
terus berdoa agar Allah SWT mudahkan semuanya. Bayangan akan gagal relaktasi
saya singikirkan jauh-jauh. Sambil terus memandangi pemandangan sekitar, saya
panjatkan doa dan harap. “Nak! Semua demi Shanum”. Ingin rasanya suatu hari
nanti, ketika dia telah beranjak dewasa, saya bawa Shanum menapaki jalan yang pernah
saya tempuh untuk belajar menyusuinya lagi.
Setelah menghubungi Dokter Icha,
kami langsung mengikuti instruksi beliau untuk mendaftar dan memasukkan
barang-barang ke dalam kamar rawat inap. Di rumah sakit tersebut kami menempati kamar kelas I. Shanum diletakkan di atas tempat
tidur. Suami dan ibu saya sibuk memasukkan barang bawaan dan menata posisi
barang-barang di lantai. Saya hanya berdiri kaku sembari melihat ke setiap
sudut ruangan. Jelas ini bukan kamar baru. Pasti telah banyak pasien-pasien
sakit yang menginap di kamar ini. Dan sekarang anak saya. Anak saya yang
sebenarnya tidak sakit dan tidak berpenyakit. Ya! Alhamdulillah. Anak saya sehat.
Dada saya membuncah. Saya pandangi Shanum yang masih tertidur pulas. “Kemana
saya bawa anak saya yang masih bayi ini?”. Seketika air mata saya tumpah. Langsung
saya seka air mata itu. Saya tidak mau ada orang yang melihat saya menangis.
Tak berapa lama, Dokter Icha
datang. Hari itu diawali dengan konseling. Dokter menjelaskan kewajiban
perempuan untuk menyusui berdasarkan firman Allah SWT dalam Al Quran dan
kewajiban suami untuk mencari nafkah. Lebih lanjut dokter juga memaparkan bahaya
yang akan menanti Shanum bila pada akhirnya ia harus minum susu formula. Pendek
kata, konseling kala itu sarat ilmu dan semacam modal awal dan booster untuk
memulai relaktasi.
Sesuai dengan metode Praborini,
selama 24 jam pertama saya dan Shanum harus melakukan skin to skin contact. Ya! Saya sudah membaca semua tentang metode
ini. Saya tahu apa saja yang akan saya lakukan. Bahkan saya hapal berapa dosis
CTM yang akan diberikan kepada Shanum. Saya siap untuk menjalani relaktasi itu.
Hari Rabu, 27 Juni 2018 pukul
14.00 WIB relaktasi pun dimulai. Sebelum keluar ruangan dokter meminta saya
untuk melepaskan pakaian bagian atas. Saya dan Shanum harus bertelanjang dada. Bahkan
Shanum tidak memakai apapun selain popok dan kaos kaki. Selama 24 jam itu saya
dan Shanum harus terus berdekatan. Baby
moon, begitu yang selalu disebut Dokter Icha. Menjalani skin to skin contact bukan hal yang
sulit lagi bagi saya, karena sebelum kami memutuskan untuk menjalani relaktasi,
saya telah mencoba skin to skin contact
di rumah meski tidak maksimal. Saya tidak melanjutkan skin to skin contact ketika tidur karena takut Shanum akan jatuh
dari pangkuan saya. Selama 3 hari terhitung 20 Juni hingga 23 Juni, saya
mencoba melakukan skin to skin contact dan
menghentikan pemberian ASIP melalui dot. Kala itu tidak ada penolakan dari
Shanum ketika diberikan ASIP melalui sippy cup dan pipet. Kemungkinan ini
karena yang memberikan ASIP melalui dua media tersebut adalah saya. Namun,
karena kami harus bepergian ke Banda Aceh menggunakan pesawat terbang, maka
pada tanggal 24 Juni, kami kembali menggunakan dot untuk memberikan ASIP kepada
Shanum agar selama di pesawat telinga Shanum tidak sakit karena perbedaan
tekanan udara.
Siang hari itu terasa berat. Rasa
percaya diri saya sempat runtuh melihat Shanum menangis dan menolak diberikan ASIP melalui
spuit dan cup feeder. Terlebih dia
sama sekali tidak melihat saya ketika ada perawat yang mencoba memberikan ASIP
kepadanya. Shanum terus menangis dan tidak mau diberi ASIP. Saya mulai panik.
Keringat dingin bercucuran membasahi kening saya meski ruangan itu memiliki
pendingin udara. Saya tidak tega mendengar Shanum menangis. Saya memang tidak
membiasakan Shanum menangis. Menurut informasi yang saya baca, bayi yang
dibiarkan menangis akan merasa diabaikan sehingga akan tumbuh menjadi anak yang
minder dan pemarah. Karena itulah saya berusaha selalu menjadi ibu siaga dengan
tidak membiarkan anak saya menangis terlalu lama. Shanum hanya saya izinkan
menangis ketika mandi di pagi hari. Meski sebenarnya mandi adalah salah satu
rutinitas favorit bayi montok saya itu.
Menjelang sore, suami dan ibu
saya berhasil memberikan ASIP pada Shanum. Sepertinya karena lapar makanya mau
tidak mau ia meminum ASIP meskipun sesekali menangis. Saya mulai sedikit lega,
terlebih Shanum langsung tertidur karena sudah merasa kenyang.
Selepas maghrib Shanum kembali
menunjukkan rasa kesalnya. Lagi-lagi ia merengek. Meski sudah digendong dan
diayun, Shanum tidak kunjung tidur. Padahal biasanya amat gampang membuatnya tidur.
Cukup digendong posisi tegak sambil dinyanyikan lagu huruf hijaiyah
kesukaannya. Tapi hari itu semua tidak mempan. Ibu dan suami kembali memberikan
ASIP melalui cup feeder. Kali ini Shanum sudah lebih tenang minum ASIP dari cup
feeder karena sudah ibu dan suami sudah tahu caranya. Yaitu dengan meletakkan
cup feeder diatas lidah Shanum, sehingga ia bisa mengontrol jumlah ASIP yang
akan diminum.
Selepas minum ASIP saya kembali
melanjutkan skin to skin contact. Saya mulai kelelahan. Lengan saya mulai
keram. Kaki saya terasa pegal. Terang saja. Telah berjam-jam saya menggendong
bayi yang beratnya mencapai 7.5 kg ketika relaktasi itu dilakukan. Shanum
kembali menangis. Saya terus dekap ia di pelukan saya. Saya terus bicara di
telinga kirinya. Biasanya anak baik budi itu selalu paham dan mengerti apa yang
saya minta. Seperti ketika saya demam saat ia berumur 2 bulan. Saya minta ia
tidur cepat dan tidak menangis saat malam karena saya harus minum obat. Dan
benar, ia sudah tidur sebelum Isya dan tidak bangun sama sekali malam harinya.
Saya saja yang terus berusaha memberikan ASIP setiap 2 jam yang kala itu masih
menggunakan dot. Shanum juga berhasil membuat saya terpukau karena ia sangat
anteng ketika saya bawa ke masjid untuk melaksanakan Idul Fitri saat dia
beurmur 3 bulan. Shanum sama sekali tidak terpengaruh dengan tangisan anak-anak
lain. Ia fokus pada mukena jamaah yang tertiup angin. Shanum bermain sendiri
sampai saya selesai sholat. Padahal saya sudah ketakutan kalau-kalau Shanum
akan menangis dan menggangu kenyamanan sholat di masjid tersebut.
Namun di rumah sakit kala itu,
Shanum sangat berbeda. Semakin saya berbisik di telinganya, ia seolah makin
kesal. Semakin saya nanyikan lagu kesukaannya, ia semakin merengek. Jelas bayi
saya sedang protes dengan kondisi yang dia alami saat itu. Sebenarnya saya
ingin berhenti menggendong Shanum. Namun untuk memberikan Shanum kepada suami dan
ibu, saya juga tidak tega. Mereka juga sudah terlihat lelah. Raut sedih jelas
terlihat di wajah mereka melihat Shanum yang sedang ‘tersiksa”.
Menjelang pukul 9 malam, dokter
berkunjung ke ruangan kami. Seperti sebelumnya, dokter menanyakan progress
Shanum. Tentu saja tak lupa menceritakan pengalaman pasien lain yang berhasil
relaktasi dan memberikan semangat untuk saya. Meyakinkan ibu dan suami bahwa
semua akan baik-baik saja. Dan seolah tahu bahwa ada sesuatu yang belum
tersampaikan dari saya. Dokter mulai memancing. Meminta saya menyampaikan
uneg-uneg. Dan benar saja. Air mata saya tumpah. Rasa sedih, minder, galau yang
selama ini tak sempat saya sampaikan kepada suami dan ibu, akhirnya mereka
dengarkan sendiri. Panjang lebar saya utarakan apa yang saya rasa. Tentang
betapa lelahnya saya menangis sendiri. Betapa hancurnya perasaan saya melihat
Shanum menolak saya susui. Betapa sedihnya saya melihat ASI saya berkurang.
Betapa mindernya saya melihat ibu-ibu lain yang dengan lancar dapat menyusui
anaknya. Dan tentang betapa inginnya saya menyusui anak saya sendiri selama 2
tahun pertama kehidupannya. Ya! Sambil menggendong Shanum saya terus meluapkan
isi hati saya. Sedu sedan. Rasanya ada banyak hal yang selama ini saya simpan
sendiri. Ada rasa yang hanya saya tanggung sendiri.
Kunjungan dokter malam itu
berakhir tak lama setelah sesi curhat saya selesai. Dokter Icha menyampaikan
kalau kami semua harus siap-siap just in
case Shanum akan ‘mengamuk’ pukul 2 pagi. Karena biasanya bayi relaktasi
lainnya akan bangun dan menangis menjelang dini hari. Dan menurut sang dokter,
jika Shanum tidak terkendali, ia akan diberi CTM agar lebih calm.
Saya letakkan Shanum di tempat
tidur karena saya harus pumping. Payudara saya terasa sangat penuh. Terlebih
stock ASIP Shanum sudah habis. Tidak ada ASIP yang akan diberikan kalau-kalau
Shanum bangun tengah malam nanti. Tak butuh waktu lama untuk mengisi 2 botol
kosong itu dengan ASI. Tepat pukul 11 malam saya sudah selesai pumping dan
hendak tidur karena saya juga sudah mengantuk. Sambil berbaring, iseng saya
sodorkan payudara ke Shanum, dan dia menghisapnya. Ya! Alhamdulillahirabbil
alamin. Akhirnya Lashirashanum Setya Lahfah kembali menghisap payudara saya
lagi setelah 3 bulan lamanya minum ASI melalui dot.
Tangisan saya pecah. Tak henti
saya ciumi anak saya yang sedang asyik menghisap payudara saya. Meski sesekali puting
masih terlepas dari mulutnya, ia terus menghisap dan menghisap. Air mata saya
seolah tak ingin berhenti mengalir. Akhirnya saya merasa utuh menjadi seorang
ibu. Saya menyusui anak saya. Ibu saya yang juga ikut menyaksikan moment itu
terus mengucap syukur. Kami sangat bahagia melihat Shanum kembali minum ASI
langsung dari saya. “Shanum sedih mendengar Mami nangis tadi, makanya sekarang
langsung netek. Tadi kan selama Ayu curhat ke dokter, Shanum lagi digendong’,
kata Ibu. Ya! Bisa saja. Mungkin saja benar ia mau menghisap payudara saya
karena akhirnya tahu apa yang selama ini dirasakan Maminya.. Anak itu mendengar
semua curahan hati Maminya. Ia mengerti kegundahan Maminya.
Segera saya dokumentasikan moment
berharga itu. Tak lupa saya kirimkan ke dokter disertai dengan ucapan terima
kasih karena tak henti memberi semangat dan menguatkan kami sekeluarga.
Dan malam itu berlalu dengan
indah. Shanum menyusu selama 2 jam. Meski puting selalu terlepas dari mulutnya.
Ia terus mencoba menghisap dan menghisap. Saya pun terus berusaha agar payudara
saya tidak lepas dari mulut Shanum.
(bersambung….)
Part 3 : Shanum, lip tie dan
tounge tie.
.
.
.
.
.
.
.
.
Ayu Nirmala Sari, M.Si
Dosen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Ar Raniry Banda Aceh
Instagram: ayunirmalasari02