Senin, 14 Desember 2015

Berpikir Seperti Yang Diperbuat


Setiap menjelang praktikum, mahasiswa akan diberikan beberapa pertanyaan yang harus mereka jawab yang berhubungan dengan praktikum yang akan dilaksanakan, baik itu berupa materi, tata cara kerja serta alat dan bahan yang akan digunakan. Tentu saja pertanyaan tersebut akan dinilai oleh asisten praktikum dan mempengaruhi nilai akhir semester tersebut. Sehingga mahasiswa akan berusaha menghafal materi yang akan ditanyakan agar mendapat nilai yang bagus.

Hal tersebut juga saya rasakan ketika masih menjadi mahasiswa program sarjana. Menjelang praktikum, saya dan teman teman akan komat kamit menghafal semua yang tertera pada penuntun praktikum. Berusaha semaksimal mungkin agar dapat mengingat apa saja berkaitan dengan praktikum hari itu. Mereka yang tidak sempat belajar tentu saja akan kelihatan gusar. Berharap soal yang akan dikeluarkan adalah hal hal yang akan mampu mereka jawab. Yang sedikit ‘culas’ akan mempersiapkan cheat sheet atau bahkan mengorbankan tangan mereka untuk ditulisi hal-hal yang sulit mereka ingat.

Di suatu pagi menjelang praktikum, saya dan teman-teman sudah berdiri di depan pintu laboratorium agar dapat segera masuk begitu pintu di buka dan mendapat tempat duduk yang nyaman untuk menjawab soal-soal kuis yang akan diberikan 5-10 menit awal praktikum. Saya mendapat tempat di dekat jendela. Teman-teman lain juga sudah terlihat nyaman dengan posisi duduk mereka. Beberapa masih ada yang sibuk mencari tempat kosong, karena memang untu mengerjakan kuis kami harus duduk dengan jarak 1-1,5 meter agar tidak saling mencontek.

Tepat setelah semua peserta praktikum mendapatkan posisi untuk mengerjakan soal kuis, salah seorang asisten praktikum mula bergerilya dari praktikan yang satu ke praktikan yang lain. Mengecek satu persatu kertas yang akan digunakan. Sepertinya ia mencoba memastikan bahwa kertas tersebut kosong, bebas dari contekan.

Saya memperhatikan asisten prakitikum tersebut. Dia terlihat sangat lihai dalam memeriksa praktikan. Melihat telapak tangan praktikan, memeriksa pensil case, hingga memeriksa ujung kerudung praktikan.
Dalan hati bertanya “Apa hubungannya ujung kerudung dengan contekan?”.

Pertanyaan saya tersebut terjawab ketika semester 7, yang juga merupakan semester terakhir saya menjadi mahasiswa pada kampus tersebut, ketika saya mengambil mata kuliah evolusi dan asisten praktikum tersebut juga mengambil mata kuliah yang sama. Ujian akhir mata kuliah tersebut dilaksanakan pada sebuah lab dengan tujuan agar ujian dapat berlangsung dengan tertib karena jarak tempat duduk mahasiswa yang cukup berjarak dapat mencegah mahasiswa untuk saling mencontek.
Ketika itu, saya duduk disamping kiri asisten praktikum tersebut, jarak kami sekitar 2 meter, namun saya dapat melihat dengan jelas apa yang ia lakukan selama mengerjakan ujian.

Gerak geriknya terlihat mencurigakan. Posisi duduknya sering berganti. Namun ia tidak pernah sekalipun celingak celinguk kiri kanan seperti orang mencontek pada umumnya. Perlahan dia menggulung lengan bajunya yang panjang, terdapat kertas persegi panjang berukuran 4 x 3 cm yang penuh dengan tulisan. Ya! Dia menyimpan contekan di balik lengan bajunya. Tidak hanya itu, dia membalikan ujung kerudungnya yang sebelumnya menjulur menutupi dada. Dan benar saja! Terdapat kertas contekan pada ujung kerudungnya yang diberi peniti agar menempel kuat.
Luar biasa!
Dia benar-benar lihai mencontek.

Aku baru mengerti kenapa ia terlihat begitu lihai ketika memeriksa praktikan yang hendak melakukan praktikum. Dia berpikir seperti apa yang ia lakukan. Dia memeriksa contekan pada tempat-tempat yang biasa ia gunakan sebagai tempat menyimpan contekan.
***

Memang sudah seperti itu. Orang akan berpikir seperti apa yang ia lakukan.
Orang yang senang berorientasi uang akan berpikiran bahwa orang lain juga berorientasi uang.
Orang yang dapat pekerjaan dengan bantuan jurus-jurus KKN akan berpikiran bahwa orang lain juga mendapat pekerjaan dengan cara seperti itu.
Orang yang sering menggunjingkan orang lain akan mati ketakutan melihat orang lain berkumpul-kumpul, karena ia merasa orang lain juga sedang membicarakan dirinya.

Realita….

Kamis, 10 Desember 2015

Mencari Muka Tuhan

Banyak orang yang mengejar label kaya dengan menggadaikan dunianya, harga diri sudah musnah entah kemana..
Sementara, banyak orang yang diam-diam ternyata kaya raya, dan lebih suka mencari muka hanya pada Tuhannya..
‪#‎copaste‬
Membaca quote di atas mengingatkan saya pada kejadian beberapa hari yang lalu.
Salah seorang pejabat di fakultas saya terlihat sedang celingak celinguk dari kaca jendela, mengintip ke arah ruangan saya.
Beberapa saat kemudian beliau masuk dan menghampiri saya.
Pej: Buk, minjam sajadahnya.
Saya: Silahkan Pak.
Pej : Saya bawa saja sajadahnya, disini tidak ada yang sholat.
Saya : Saya sholat kok Pak. Makanya sajadah itu ada di ruangan ini.
Pej: Sholat dhuha. Saya tidak pernah lihat Ibuk sholat dhuha. Tidak ada yang sholat disini. Dosen tu harus kasih contoh.
Saya : Saya tiap hari sholat dhuha kok Pak. Jadi maksudnya saya harus sholat di depan Bapak?
Dan ia pun keluar tanpa ekspresi bersalah sama sekali.
Saya tersenyum kecut.
Rasanya lucu seseorang yang umurnya sudah sangat senior dari saya dan pendidikan juga jauh lebih tinggi dari saya, bahkan pendidikan dan pengetahuan agamanya yang notabene sudah jauh lebih banyak dibanding saya,( karena sepengetahuan saya beliau juga sering memberikan ceramah di mesjid ), ternyata berpikiran sepicik itu.
Alhamdulillah, jika boleh ditulis disini, saya sampai detik ini masih melaksanakan sholat dhuha.
Sudah muncul perasaan tidak enak jika belum melakukan sholat dhuha.
Bahkan sekarang sedang mencoba membiasakan untuk 4 rakaat setiap hari.
Tahajud pun alhamdulillah sudah mulai rutin.
Tapi memang, saya sengaja tidak menunjukkannya dihadapan orang-orang.
Saya sangat menghindari menggelar sajadah di tengah ruangan kampus.
Saya melakukan ibadah tersebut bukan untuk dianggap sholehah atau agar dipuji orang lain.
Saya melakukannya untuk diri saya sendiri.
Untuk memperbaiki kualitas diri.
Dengan harapan ibadah ibadah tersebut menjadi kebiasaan buat saya.
Saya bukan untuk mencari muka dihadapan manusia.
Saya hanya ingin mencari muka dihadapan Allah. Pemilik hidup saya.
Bahkan sampai sekarang saya masih menerima respon kaget dari orang orang begitu tahu kalau ternyata saya melaksanakan puasa senin kamis.
Alhamdulillah sudah hampir dua tahun saya rutin melaksanakan puasa senin kamis.
Jika sedang naik bus atau pesawat, dan masuk waktu sholat, saya akan melaksanakan sholat sambil duduk.
Tentu saja setelah bertayamum.
Dan selama dibperjalanan, saya memilih membaca Alquran.
Dengan maksud, jika sesuatu yang buruk terjadi pada saya, hal terakhir yang saya lakukan adalah hal yang baik. Saya sedang beribadah.
Dan tentu saja, saya mendapat tatapan aneh dari orang yang duduk di sebelah saya.
Untuk itu, jika bepergian, saya akan mengambil kursi yang dekat ke jendela, agar tidak banyak yang melihat apa yang saya lakukan.
Saya memang bukan perempuan muslim yang memakai kerudung panjang.
Bukan perempuan yang mampu tampil tanpa bedak.
Ibadah yang saya lakukan memang tidak akan bisa kalian lihat dari tampilan saya.
Tapi saya berharap, berhentilah menilai ibadah orang lain.
Berhentilah menilai ketakwaan orang lain.
Jangan hanya karena kerudung kalian panjang, jidad kalian hitam, celana kalian gantung, atau gelar agama kalian sambung menyambung banyaknya, membuat kalian merasa lebih baik dan lebih bertakwa ketimbang orang lain yang tidaj berpenampilan seperti kalian.
Iman dan taqwa manusia hanya Allah yang menilai.
Perbaiki saja kualitas keimanan masing masing.
Seharusnya kita sibuk memperbaiki kesalahan masing masing bukan malah terus terusan mencari kesalahan orang lain.
Dan inilah saya.
Saya beribadah untuk mencari muka tuhan saya.
Bukan mencari muka dihadapan kalian para manusia.
Saya tahu Allah yang melihat semua.
Allah yang menilai semua.

Senin, 07 Desember 2015

Sampah-Sampah Saintek!



Setiap pagi begitu sampai di Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek), saya selalu berpapasan dengan beberapa orang perempuan yang bertugas menyapu dan membersihkan gedung tersebut. Terkadang bertemu mereka disaat mereka sedang menyapu. Terkadang bertemu mereka begitu mereka sedang duduk di bawah pohon di depan gedung fakultas, berarti mereka telah selesai mengerjakan tugas mereka.

Gedung yang digunakan sebagai gedung Fakultas Saintek sebenarnya gedung museum UIN yang dipinjamkan kepada fakultas sainstek dan Fakultas Psikologi selagi gedung untuk fakultas tersebut dibangun. Kemungkinan besar gedung tersebut rampung awal tahun depan.

Beberapa bulan lalu, di suatu pagi sebelum menaiki tangga menuju ruangan prodi, sempat bercakap-cakap dengan salah seorang perempuan yang bertugas menyapu pada gedung tersebut.
“Buk, ruangan prodi ini belum di sapu ya?” tanyaku padanya.
“ Maaf Bu, belum sempat. Kami tadi membersihkan lantai bawah dulu, kalau ada waktu baru menyempatkan menyapu lantai atas.” Jawabnya tegas.
“Oh, begitu ya Bu. Pantes. Kemaren rasanya ruangan prodi juga tidak disapu”. Balasku.
“Iya Bu, sebenarnya kami tidak ditugaskan untuk menyapu di saintek, hanya ditugaskan di bawah. Kami menyapu di atas karena kasian daripada kotor tidak ada yang nyapu”, terangnya.
“Oh gitu, terima kasih ya Bu’.

Sejak percakapan itu, saya tidak pernah lagi berharap mereka ke lantai atas untuk menyapu ruangan prodi. Mereka menyempatkan untuk menyapu lantai 2 adalah sesuatu yang sudah saya syukuri, mengingat mereka tidak di bayar untuk melakukan itu.

Sampai hari ini saya masih melihat mereka menyapu di lantai 2, di gedung saintek. Entahkah sudah dibayar untuk menyapu ruangan di fakultas Saintek atau belum saya tidak tahu. Tapi yang jelas karena keberadaan mereka maka ruangan prodi, kelas dan semua ruangan yang merupakan bagian dari Fakultas Saintek tetap bersih.

Namun sayangnya kebersihan itu tidak pernah bertahan lama. Tepat setelah mahasiswa berdatangan maka ruangan mulai terlihat berantakan dan kotor. Kursi yang telah disusun mulai tak beraturan letaknya. Lantai yang sebelumnya bebas sampah mulai dipenuhi sampah, baik itu sampah kertas, bungkus makanan, botol air mineral, dan sampah lainnya.

Mereka seolah tidak merasa bersalah membuang sampah seenaknya walaupun tempat sampah terdapat hampir di setiap pojok gedung ini. Begitu selesai makan, bungkus makanan dibiarkan tergeletak di lantai. Begitu selesai mengelap keringat dengan tisu, mereka seenaknya membuang bekas tisu tersebut di lantai. Begitu selesai membaca koran yang sengaja di letakan di atas meja untuk dibaca, lembaran koran tersebut akan berserakan, tidak lagi berurutan.

Sesekali saya ambil sampah yang ditemui begitu saya berjalan kemudian memasukkannya ke dalam tong sampah dengan harapan apa yang saya lakukan diikuti oleh mahasiswa lain. Sayangnya tidak. Apa yang saya lakukan hanya dilihat seadanya. Dan sampah tetaplah menjadi sampah yang berserakan.

Tidak sulit kok membiasakan untuk tidak membuang sampah sembarangan. Cukup dengan menumbuhkan rasa malu sebagai orang yang berpendidikan. Seharusnya malu apabila berpendidikan tinggi namun masih memiliki kebiasaan seperti orang yang tidak sekolah.

Jika mau membentuk kebiasaan baru, bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Belum terlambat untuk membentuk kebiasaan baru. Belum terlambat untuk mulai berubah dan menjadi manusia yang lebih baik.

Teruntuk mahasiswa saya yang sedang giat berproses, sudahilah membuah sampah sembarangan. Sudahilah mengotori lantai dengan sampah kertas atau bekas makananmu.
Mulailah melakukan perubahan. Mulailah membiasakan membuang sampah pada tempat yang telah disediakan.

Buanglah sampah pada tempatnya!
Tunjukkan kalau kalian semua well educated.
Okay.



Rabu, 02 Desember 2015

Don’t Skip Your Phase!

Sudah seharusnya sebuah fase dalam kehidupan kita dijalani dengan baik dan sesuai.
Ketika menjadi anak-anak, hiduplah seperti anak-anak. Berpakaianlah seperti anak-anak. Bermain dengan bebas bersama teman-teman. Berlarian kesana kemari tanpa beban. Belajar ini itu agar tahu banyak hal. Khas anak-anak. Seperti pada masa bersekolah di SD. Belajar sambil bermain.

Ketika menjadi remaja, masa-masa ketika menduduki bangku SMP dan SMA, bersikaplah seperti seorang remaja. Berpakaianlah seperti remaja. Sibuklah berteman-teman. Mulai belajar berorganisasi. Menunjukkan kemampuan agar diakui. Mulai tertarik dengan lawan jenis. Belajar bahasa baru agar bertambah pengetahuan. Mulai berlatih menjadi remaja yang aktif dan banyak prestasi.

Ketika masuk kuliah, mahasiswa haruslah mulai lebih mandiri. Mulai serius mengikuti kegiatan organisasi tanpa mengabaikan kegiatan wajib perkuliahan. Belajar membagi waktu dengan baik agar terbiasa menjadi mahasiswa yang multitasking. Aktif.
Belajar memimpin sebuah kelompok kecil. Belajar mengkoordinir sebuah kepanitian. Belajar untuk menjadi seseorang yang didengarkan dan mendengarkan. Belajar untuk mengemban tanggungjawab. Agar nantinya ketika menamatkan kuliah, mahasiswa tersebut sudah memiliki berbagai pengalaman. Menjadi yang dipimpin atau yang memimpin. Bukan hanya duduk diam dan menjadi yang terlupakan. Bukan hanya berdiri di luar lingkaran dan menjadi yang terabaikan.

Jika sebuah kehidupan berjalan dengan baik dan sesuai, jika tidak ada fase hidup yang terskip, maka manusia tersebut akan tumbuh dan berkembang dengan baik.
Namun, jika ada fase hidup yang tidak dijalani dengan baik, jika ada fase hidup yang terskip, maka untuk selanjutnya manusia tersebut akan berkembang dengan tidak wajar. Tidak jarang ia akan ‘menjemput’ masa yang pernah ia lewatkan.

Perhatikan saja di sekitar. Apakah ada kau lihat wanita berumur 40 tahun yang berpakaian seperti gadis remaja?
Apakah ada laki-laki tua yang bertindak seperti pemuda umur 20an?
Pernahkah kau lihat orang yang baru memimpin lalu bertindak semena-mena?

Semua itu terjadi karena mereka tidak melewati fase hidupnya dengan baik.
Ketika remaja, mereka tidak bersikap seperti remaja.
Tidak melakukan hal-hal yang sewajarnya dilakukan oleh seorang remaja.
Ketika orang lain belajar memimpin dan berorganisasi, ia hanya menjadi orang yang tak berpengaruh. Ada atau tidaknya ia tak pernah diperhatikan oleh orang sekitar.
Mereka tidak berproses dengan baik ketika seharusnya mereka berproses.

Mendengar sebuah cerita tentang seseorang yang memiliki jabatan mengomentari cara seniornya mengelola sebuah unit kerja.
Anda terlalu demokratis.
Saya tidak suka cara Anda memimpin.
Bagi saya, pemimpin haruslah keras dan tegas.
Kalau iya, iya. Kalau tidak ya tidak.
Tidak perlu terlalu banyak mendengar saran dari bawahan.
Dengan begitu akan jelas siapa atasan siapa bawahan. Harus ada bedanya antara pemimpin dengan bawahan.
Jika ada yang tidak suka dengan keputusan yang diambil. Singkirkan! Dengan begitu tidak akan ada yang mengganggu”.

Bukankah sangat disayangkan. Seseorang yang masih sangat muda yang seharusnya berpikiran terbuka dan maju, justru memiliki paham yang begitu kuno.
Sebuah sistem yang demokratis dianggap salah dengan alasan tidak menunjukkan batas yang jelas antara pemimpin dengan yang dipimpin.
Sebuah sistem yang diktator dianggap sebagai cara yang benar dalam memimpin.

Sepertinya ada yang gagal paham. Ada yang gagal belajar ketika seharusnya ia belajar banyak. Sepertinya ada yang di masa mudanya hanya berdiri di luar lingkaran dan memandang dari jauh, sehingga begitu ia berada dalam lingkaran, tidak tahu cara bertindak yang benar. Lalu apa yang ia lakukan? Ia meniru yang paling mudah dititu. Meniru yang selama ini terlihat. Tidak paham apakah yang ditiru benar atau tidak. Tidak mengerti apakah yang dilakukan baik atau tidak. Tidak tahu apakah cara yang dipilih tepat atau tidak.

Masa yang sudah terlewati tidak akan pernah dapat dikembalikan. Fase yang sudah terskip tidak akan pernah dapat di rewind. Namun yang pasti, kita masih punya waktu untuk menjalani hari ini dengan baik dan sesuai agar dapat mendewasa dengan baik. Menua dengan benar. Agar tidak ada lagi fase-fase hidup yang terlewatkan.

Be good.








Selasa, 01 Desember 2015

Helm. Sayang Diri atau Takut Polisi?



Musibah dapat datang dimana saja dan kapan saja. Mau bukti? Tonton saja berita di televisi. Dapat kita lihat bahwa terkadang musibah datang pada orang yang sedang duduk di pinggir jalan atau sedang istirhat tenang di dalam kamar. Tidak jarang pejalan kaki yang sedang menyebrang tertabrak sepeda motor dan meninggal sementara si pengendara tidak lecet sedikitpun.

Ya. Musibah dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Sesuatu yang tidak dapat dihindari. Tapi ingat, kita sebagai manusia harus tetap berprasangka baik pada Sang Kuasa sembari tetap berusaha sebaik mungkin agar terhindar dari bahaya.
Mengenakan hem ketika berkendara adalah salah satu contoh sederhana yang dapat dilakukan sebagai upaya untuk menghindari bahaya atau musibah.

Namun sayang, bagi kebanyakan orang yang menggunakan sepeda motor sebagai alat transportasi, helm hanya digunakan ketika bepergian jauh atau  berkendara di jalan raya. Alasannya tak lain agar tidak ditilang oleh polisi lalu lintas. Sepertinya mereka lebih peduli pada UU No 22 Tahun 2009 pasal 57 ayat 2 yang menjelaskan bahwa pengendara sepeda motor wajib menggunakan helm yang memenuhi standar SNI daripada keselamatan dan masa depan yang dapat rusak jika kepala mereka terbentur atau pecah.

Coba saja lihat di jalan-jalan, banyak ibu-ibu yang tidak mengenakan helm ketika menjemput anaknya sekolah atau ke pasar membeli perlengkapan dapur. Banyak bapak-bapak yang tidak memakai helm ketika membeli rokok ke warung atau sekedar keliling kompleks. Banyak mahasiswa yang tidak menggunakan helm ketika berkendara di kampus.

Bahkan pasangan muda mudi yang pacaran pun lebih senang tidak mengenakan helm. Berkeliaran di jalan raya tanpa mengenakan pengaman kepala.
Orang tua yang membonceng anak mereka pun juga banyak yang tidak melindungi anak mereka dengan helm.
Bukankah seharusnya kita melindungi orang orang yang kita sayang?
Katanya sayang, kok tidak dilindungi kepala orang yang disayangi?

Apakah mereka yakin kecelakaan tidak akan terjadi begitu mereka berkendara di daerah-daerah yang menurut mereka tidak seramai jalan raya tersebut?
Apakah mereka yakin bahwa berkendara dengan kecepaatan 25km/jam akan menjamin mereka terhindar dari kecelakaan lalu lintas?
Bagaimana jika ada pengendara lain yang ugal-ugalan dan menabrak mereka sedang mereka sedang tidak mengenakan helm.
Bagaimana jika mereka terjatuh? Atau kepala mereka mengenai benda keras ?
Pernahkah terpikir sampai kesana?

Bukan bermaksud menakut nakuti atau mengharapkan mereka mendapatkan musibah. Saya justru berharap mereka lebih peduli pada keselamatan diri sendiri.
Jadkan helm sebagai kebutuhan ketika berkendara dengan sepeda motor. Tak peduli jaraknya dekat atau jauh. Tak peduli ada atau tidaknya polisi lalu lintas.
Sayangi dirimu.
Kenakan helm.


Refleksi.



Menuliskan sebuah rencana bisa jadi merupakan sebuah hal yang sangat mudah untuk dilakukan. Terlebih bagi mereka yang memang terbiasa memiliki sebuah jadwal yang jelas, seperti saya.
Menyediakan waktu di pagi hari untuk menulis daftar kegiatan atau hal hal yang ingin saya lakukan di hari itu merupakan sebuah rutinitas yang selalu saya lakukan.  Semacam sebuah kebutuhan untuk teratur.
Namun, tidak semua hal dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Banyak hal yang terjadi diluar kendali kita sebagai manusia biasa. Rencana terkadang hanyalah sebuah rencana tanpa dapat diwujudkan.
Tak jarang, sebelum tidur ketika membuka kembali list yang telah saya tulis paginya, kesal dan kecewapun hadir. Ternyata tidak semua hal yang ingin dilakukan sempat dilakukan. Selalu ada ‘pengalih’ yang membuat list tersebut terabaikan. Baik yang datang dari diri sendiri seperti malas, lelah, keinginan untuk menggosip dengan orang lain. Atau dari hal hal yang berasal dari luar seperti ada rapat tiba-tiba, diberi tugas untuk menyelesaikan hal lain dan hal sejenisnya.

Awal November lalu saya sempat menulis beberapa resolusi untuk dilakukan. One post one day.
Agak sedikit kecewa begitu menyadari bahwa saya berhutang beberapa tulisan untuk di posting d blog. Untuk bulan November yang berjumlah 30 hari seharusnya saya telah memposting 30 tulisan. Sayangnya hanya terdapat 24 tulisan selama bulan Noveber pada laman talkingnirmala.blogspot.com.

Sedikit kecewa pada diri sendiri karena saya tahu betul bahwa hal tersebut terjadi karena faktor M. Saya benar-benar masih harus belajar lebih keras lagi untuk mengendalikan rasa malas itu.

By the way!
December is coming!
Welcome the ender month!
Banyak harapan yang saya titipkan untuk terjadi pada bulan Desember ini. Tentu saja yang pertama agar saya dapat menjalankan semaua resolusi yang telah saya tulis. Agar lebih konsisten terhadap keinginan yang telah saya susun. Semoga Allah juga membantu saya dalam mengalahkan dan mengendalikan hal-hal dari dalam diri saya yang dapat mengganggu atau mengusik semua list yang telah saya rampungkan.
Saya juga berharap agar encana baik saya yang sempat tertunda dapat mulai disusun lagi. Dimudahkan segala urusan yang menjadi syarat agar rencana baik tersebut dapat terlaksana.

Happy December People!
Each new day is a new beginning!
Lets Keep Positive!





Jumat, 27 November 2015

Siapakah Mereka Yang Merugi?

Siapakah mereka yang merugi?
Lihat lah sekitar!
Adakah yang tua tapi tak matang?
Dengan rambut mulai memutih
Umur sudah tak terhitung
Namun kelakuan masih mentah
Ibarat bocah belasan yang tak punya akal
Mudah ditipu gampang dihasud
Seperti wayang yang diatur dalang
Tak susah dibodohi
Tak sulit dipengaruhi
Karena pikiran tak lagi berjalan

Siapakah mereka yang merugi?
Lihatlah sekitar!
Adakah yang lemah tapi rakus?
Yang selalu mengukur bayang-bayang
Menjangkau yang tak seharusnya
Menyentuh yang tak sepantasnya
Membajak sawah orang lain
Menggarap ladang tetangga
Dia yang kepanasan melihat tawa orang lain
Yang senang menebar panas
Yang gemar menepuk debu
Membuat kacau dan kalut
Menghasud sana sini
Mengusik sana sini


Siapakah mereka yang merugi?
Lihatlah sekitar!
Adakah yang bodoh tapi culas?
Menginjak hak orang lain
Menegakkan kepala ketika berjalan
Meninggikan suara ketika bicara
Melenggangkan badan ketika berjalan
Mengakui bahwa keringat orang lain adalah miliknya
Membohongi kiri kanan untuk keuntungan sendiri
Menjual cerita palsu untuk menipu
Menjebak untuk dilihat
Tak tahu tapi tak mendengar
Tak  mengerti tapi tak melihat
Tak paham tapi tak bertanya
Dia yang akan menikam yang dirasa mengusik
Karena pikiran yang tak pernah tinggi
Karena pikiran yang terlalu lemah
Ucapan tak lagi terkendalikan
Tindakan selalu kelewat batas
Dia yang bodoh tapi angkuh



Siapakah mereka yang merugi?
Lihatlah sekitar!
Adakah yang dungu tapi angkuh?
Gemar mengumbar kata
Tentang hebatnya si Aku
Yang sejatinya tak akan jadi aku bila sendiri
Yang tak akan jadi aku bila tak ditopang sana sini
Sesumbar tentang diri
Yang bahkan selalu sendiri
Dijauhi karena kurangnya etika
Diabaikan karena minusnya moral
Senang membuang ucapan
Mengepakkan sayap palsu yang dibuat sendiri
Terlena oleh angan angan akan hebatnya aku yang ternyata semu
Menggaungkan lengkingan yang ternyata samar
Menipu diri sendiri untuk diakui
Membodohi diri sendiri untuk dilihat
Dia yang lupa berpijak meski tak pernah beranjak dari tanah
Dia yang lupa bersandar meski tak pernah jauh dari tembok
Yang bahkan tak bisa berpikir dengan benar

Siapakah mereka yang merugi?
Lihatlah sekitar!
Mereka yang berteman dengan setan
Dibodohi oleh kepentingan
Ditipu oleh kekuasaan
Dikelabui oleh kesempatan

Siapakah mereka yang merugi?
Lihatlah sekitar!
Mereka yang katanya bertuhan
Yang menyerukan kebaikan
Tapi melakukan kebalikan


Siapakah mereka yang merugi?
Lihatlah sekitar!
Mereka yang buta
Mereka yang tuli
Mereka yang bisu

Siapakah mereka yang merugi?
Lihatlah sekitar!
Mereka adalah orang-orang yang lupa.
Lupa bahwa semua ada masanya.
Ada masanya hidup.
Ada masanya mati
Ada masanya berbuat.
Ada masanya bertanggungjawab.

Siapakah mereka yang merugi?
Lihatlah sekitar!
Mereka yang Tuhan biarkan terjebak lebih dalam
Yang tak mempan dengan teguran
Tak belajar dari kesalahan

Siapakah mereka yang merugi?
Lihatlah sekitar!
Mereka yang akan dipenuhi penyesalan.
Lihatlah sekitar!
Mereka yang akan merasakan hilangnya masa yang mereka agungkan.
Mereka yang akan dipenuhi dengan penyesalan.





Kamis, 26 November 2015

Sudah Berproseskah? (Untuk Mahasiswaku)

Sejatinya, sebuah proses dikatakan sukses apabila terdapat delta yang sangat besar antara sebelum dan sesudah proses tersebut. Delta perubahan tersebut diukur dalam rentang waktu tertentu.
Proses belajar pun juga dapat diukur dengan melihat perubahan yang terjadi pada peserta didik sebelum dan setelah prose situ dimulai.
Saya merupakan dosen angkatan pertama di prodi Biologi pada fakultas tempat saya mengajar. Prodi kami yang masih baru ini baru memiliki dua angkatan mahasiswa, 2014 dan 2015. Tidak terlalu banyak jumlah mahasiswanya, sehingga seharusnya tidak akan sulit mengontrol dan terlibat lebih agar mereka dapat berproses dengan baik sehingga nantinya menjadi sarjana yang tak dipandang sebelah mata.

Namun, harapan saya terlalu besar.
Mereka tidak seantusias itu dalam berproses. Khususnya  ini terlihat pada mereka yang sejak awal telah belajar dengan saya.
Semester 3. Rasanya sudah cukup untuk membentuk kebiasaan baru. Membuang perangai-perangai semasa SMA yang kadang nyeleneh dan jauh dari kata sopan.
Namun bagi mahasiswa saya yang tergolong ‘manja’ ini, proses yang seharusnya mereka jalani berjalan dengan tempo yang lambat.

Tentu saja ada yang sudah mulai terlihat memperbaiki sikap dan cara belajar. Ada dari mereka yang sudah mulai mengubah diri. Bersiap bertransformasi.
Jika pada awal semester 1 hanya datang, duduk dan keluar begitu kelas usai, sekarang sudah terlihat mau terlibat, mulai mencatat hal-hal penting yang diterima di kelas dan mulai serius memperhatikan.
Jika sebelumnya ujian selalu berusaha mencontek, sekarang sudah mulai duduk di barisan depan dan mengerjakan sendiri soal ujian atau kuis.
Sebuah perubahan yang patut diapresiasi.

Tidak sedikit dari mereka yang sejak awal sudah terlihat memiliki potensi. Memang memiliki minat yang besar terhadap proses belajar. Berusaha serius dalam mengerjakan setiap tugas. Terlibat dalam diskusi dan terlihat gusar begitu mendapat nilai yang kurang memuaskan.
Mereka golongan mahasiswa yang cenderung banyak bertanya karena ingin mengerti dan mengetahui lebih banyak.

Ada beberapa yang masih sibuk haha hihi petantang petenteng. Hanya memenuhi ruangan kelas. Cengengesan begitu ada hal yang dirasa lucu. Masuk kelas dengan tangan kosong dan duduk dengan santainya selama proses belajar berlangsung seolah semua yang dibahas sudah dikuasai dengan baik. Disaat teman-teman yang lain sibuk mencatat apa yang disampaikan agar tidak lupa, mahasiswa golongan ini bahkan tidak mengeluarkan selembar kertaspun. Entahlah apakah ia memiliki pulpen untuk menulis atau tidak.

Cukup banyak juga yang mengandalkan kemampuan mencontek dan melirik jawaban teman. Di kelas selalu diam namun agresif begitu ada kuis atau ujian. Sibuk berusaha mengeluarkan handphone dari tas untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan apa yang diketahui oleh otak mereka.

Bahkan ada yang hanya semangat jika mengurus organisasi tapi letoy ketika berurusan dengan kuliah. Seolah kesuksesan ia berorganisasi akan menjamin ia lulus pada mata kuliah yang seharusnya diikuti dengan baik.

Entahlah kapan mereka baru akan tersentil dan menyadari bahwa apa yang mereka lakukan selama ini hanya membuang waktu dan umur saja. Mereka selalu lupa tugas dan kewajiban sebagai mahasiswa.

Semester 3 bukan lagi waktunya untuk bermalas-malasan. Sudah waktunya mulai meninggalkan kebiasaan lama yang salah dan mulai membentuk kebiasaan belajar. Mulai menjadikan belajar sebagai kebutuhan bukan sebagai kewajiban.

Entah kapan mereka akan mulai membawa tas yang berisi buku atau laptop.
Agak heran begitu mendengar mereka mengatakan tidak membawa laptop ke kampus. Bukankah waktu luang disela sela kelas yang satu dengan kelas yang lain dapat digunakan untuk browsing dan membaca? Bukan sekedar duduk-duduk atau mencontek laporan orang lain.

Tak kalah kagetnya begitu mengetahui bahwa mereka tidak punya satupun buku pegangan selain buku biologi SMA mereka.
Bagaimana mungkin mereka bisa belajar jika tidak memiliki sumber belajar apapun.
Dan hal itu terjadi bukan karena mereka tidak memiliki uang untuk membeli atau mengkopi buku. Tapi karena mereka tidak mau mencari buku yang dapat digunakan sebagai sumber bacaan dan karena mereka takut membaca buku berbahasa inggris.
Masih teringat ketika saya mulai kuliah, hal yang saya lakukan begitu melihat daftar mata kuliah yang akan saya ikuti adalah mencari buku-buku yang bisa saya gunakan sebagai sumber belajar.
Membelinya saya tak mampu. Karena harga buku baru tersebut cukup mahal. Karena itu saya memilih memfotokopi buku-buku tersebut.
Setidaknya saya punya satu buku untuk satu mata kuliah. Bahkan rasanya itu belum cukup, sehingga begitu ada tugas, perpustakaan akan menjadi tempat nongkrong favorit. Setiap minggunya saya meminjam buku dan mengkopi bahan-bahan penting dari buku tersebut.
Tapi itu saya dulu.
Mahasiswa saya tidak begitu.
Ada yang seperti itu tapi lebih banyak lagi yang cuek.
Puas belajar tanpa buku.
Tinggal download dan tugaspun beres.
Tidak perlu susah mencari bahan.
Tidak perlu sulit membaca buku lain.

Entahlah kapan mereka akan mulai berproses.
Entahlah kapan mereka akan mulai serius menjalani perkuliahan mereka.
Entahlah kapan mereka akan mulai sadar akan tugas dan kewajiban.

Ingin rasanya menyuruh mereka berdiam diri sejenak. Merenung dan memikirkan. Perubahan apa yang sudah terjadi pada diri mereka sejak semester pertama hingga saat ini. Sudah sejauh apa mereka berubah. Sudah sebesar apa mereka berproses. Sudah sekeras apa usaha mereka untuk memperbaiki kualitas diri? Sudahkah mereka berproses. Rasanya mereka memang perlu memikirkan hal tersebut. Agar tidak salah langkah terlalu jauh. Agar tidak membuang waktu terlalu banyak.

Tapi rasa terima kasih dan bangga tetap saya berikan kepada mereka yang tetap semangat belajar dan berproses.
Semoga Allah mudahkan jalan kalian.
Semoga Allah jauhkan kalian dari sifat malas.

Aamin.


Memudahkan Urusan Orang Lain

Terkadang kau akan sangat takjub dengan bagaimana cara Tuhan menunjukkan bahwa janjiNya akan selalu ditepati.
Seperti halnya yang selalu kuyakini dari dulu.
Jika kita mempermudah urusan orang lain, maka urusan kita juga akan dipermudah.
Hal ini juga sejalan dengan yang salah satu hadist Rasulullah SAW.

Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba Nya selama hamba Nya itu suka menolong saudaranya
(HR. Muslim, lihat juga Kumpulan Hadits Arba’in An Nawawi hadits ke 36).

Atas dasar itulah sebisa mungkin kuupayakan untuk menolong orang lain bahkan disaat posisiku juga terjepit. Agak sulit memang membedakan niat yang ikhlas dan pamrih.
Karena apabila ketika kita menolong orang lain  terselip harapan agar Allah membalas kebaikan kita dengan pertolongan ketika kita susah, berarti ada pamrih yang tumbuh disana.
Namun jika kita menolong atas dasar mengharap Allah menerima itu sebagai sebuah pahala, insya allah ada ikhlas yang menghiasi.

Amaze.
Begitu menyadari ada orang yang dengan begitu gigihnya berusaha menyelamatkanku dan mencarikan tempat terbaik. Tanpa tendensi apapun. Tidak ada satu keuntunganpun yang diperolehnya dengan melakukan hal tersebut.
Berhutang budi juga tidak, karena rasanya aku tidak pernah melakukan sesuatu yang berharga untuknya.
Yang kusadari selalu berikan hanyalah support agar ia tetap kuat menghadapi serangan kiri kanan yang diterima serta kesedihan yang mendera begitu mengetahui bahwa ia terpaksa menarik diri, mundur dan mengalah dari posisi yang tengah dinikmatinya.
Ya. Seingatku hanya dukungan dan doa saja yang pernah kuberikan. Serta beberapa kali ucapan terima kasih karena ia lah yang lebih banyak memberikan pertolongan padaku.

Ia membawaku pada lingkungan baru yang lebih ‘terhormat’ dan intelek. Tempat dimana aku bisa menggali potensiku lebih dalam dan mengasah kemampuanku agar lebih tajam. Sebuah kesempatan untuk melakukan hal baru dan mengenal orang-orang yang sudah malang melintang dalam dunia yang baru kugeluti.

Syukur.
Terima kasih
Cuma itu yang dapat kuhadiahkan pada Tuhanku dan pada pertolonganNya yang diberikan lewat tangan orang lain.
Kondisi hanya membuatku ingin berbuat lebih banyak. Menolong orang lain semampuku. Membantu orang lain sebisaku. Memudahkan urusan orang lain dengan terus memperbaiki niat.

Alhamdulillah wa syukurillah.
Bersyukurlah maka nikmatmu akan ditambah.

#reminder

#selftalk

Rabu, 25 November 2015

Memori Lama Kita

Kutatap memori lama kita.
Satu persatu masih berbaris rapi di tempatnya.
Pada bagian kecil yang kusebut ‘masa lalu’
Semua tampak indah buatku.
Tak ada lagi penyesalan.
Tak ada lagi amarah
Tak ada lagi kecewa.
Semua lenyap dengan obat yang dihadiahkan oleh sang pemilik hati kita.
Semua hilang disapu sang bayu
Semua sirna dikikis sang waktu

Rasanya baru kemaren dihadirkan sebuah rasa diantara kita.
Yang membuat kita menabrak tembok yang sama sama kita bangun.
Melewati kesepakatan yang sama-sama kita langgar.
Kita membuat persahabatan itu bertransformasi.
Keputusan terburuk yang  pernah kita buat.
Sekaligus keputusan yang menjadi pembelajaran terbaik yang kau hadiahkan untukku.

Masih dapat kuingat ketika kita duduk dan menangis bersama.
Meratapi semua yang kita terima.
Sebagai orang-orang yang belum memiliki sesuatu untuk kita tunjukkan.
Tentang bagaimana hancurnya hati kita akan perlakuan yang kita terima.
Tentang bagaimana kita berusaha sabar menghadapi semuanya.
Saling menguatkan dan membesarkan hati.
Sembari berbisik agar Tuhan menjamah semua doa dan harapan kita.

Kita salah langkah.
Kita terlalu gegabah
Kita terjebak pada perasaan yang hadir karena rasa saling peduli yang begitu besar.
Sesuatu yang harusnya dari awal kita bunuh namun kita biarkan kian kuat.

Kutatap kembali memori lama kita.
Tentang bagaimana kita saling menopang.
Tentang bagaimana kita saling bergantung.
Tentang bagaimana kita saling mendorong.
Agar tetap kuat.
Agar tetap kokoh.
Agar tetap ada.
Agar tetap bersama.

Kutatap lagi memori lama kita.
Masa dimana kau memasuki duniaku dan memiliki tempat istimewa disana.
Berada diantara orang-orang yang kusayang.
Berdiri diantara mereka yang kumiliki.
Bersama dengan mereka yang selalu di dalam pandanganku.
Kubawa kau keduniaku.
Dan kubiarkan kau meninggalkan duniamu.
Sebuah keputusan salah yang kita biarkan terjadi.

Kita terluka. Kita kecewa. Pada dunia yang terkadang tak memihak.
Kita belum mengerti yang kita hadapi.
Kita belum paham yang akan kita jalani.
Bukan salah kau.
Bukan salah aku.
Kita hanya belum siap.
Kita hanya terlalu gegabah mengartikan semuanya.

Kutatap memori lama kita.
Satu persatu masih berbaris rapi di tempatnya.
Pada bagian kecil yang kusebut ‘masa lalu’
Semua tampak indah buatku.
Tak ada lagi penyesalan.
Tak ada lagi amarah
Tak ada lagi kecewa.
Perpisahan yang terjadi hanyalah cara Tuhan menegur kita.
Meminta kembali pada posisi kita dahulu.
Menjadi kau dan aku yang dulu.
Yang sama sama punya impian masing masing untuk diraih.


Kutatap memori lama kita.
Satu persatu masih berbaris rapi di tempatnya.
Pada bagian kecil yang kusebut ‘masa lalu’
Semua tampak indah buatku.
Tak ada lagi penyesalan.
Tak ada lagi amarah
Tak ada lagi kecewa.
Kita bahagia dengan hidup yang kita jalani.
Dengan pilihan yang kita ambil.
Hanya butuh satu lagi keberanian.
Hanya butuh satu lagi sikap satria.
Agar kita dapat saling bertegur sapa.
Mengingat lagi untuk sejenak,
Masa kau memanggil aku sahabat.
Masa aku memanggil mu sobat.
Masa dimana kita belum terluka oleh keputusan yang kita buat.
Hanya butuh satu lagi keberanian.
Hanya butuh satu lagi sikap satria.
Agar kita dapat saling bertegur sapa.

Ya.
Suatu saat nanti.
Semoga.


Selamat Ulang Tahun Ke 26.
Semoga Kau Selalu Bahagia.
Aamiin



Tanya



Tentang tanya yang tak akan pernah terjawab
Kenapa bertemu
Mengapa berpisah
Tentang waktu yang tak bisa diikat
Kenapa hadir
Mengapa beranjak

Tak akan semua tanda tanya akan berjodoh dengan jawabnya
Akan ada yang hanya menggantung tak berpunya
Akan ada yang hanya berlalu
Akan ada yang hanya hilang.. lenyap

Ada beberapa yang terjawab seketika tanya itu terlontar
Ada sedikit yang terjawab begitu tanya itu mulai lelah bergulir
Dan bahkan ada yang terjawab setelah waktu lelah berlalu…
Ada yang terjawab begitu tanya tak lagi butuh jawaban.

Tantang tanya yang tak kan selalu terjawab.
Selalu ada alasan untuk diam
Selalu ada alasan untuk bicara.



Banda Aceh, 24 Nov 2015 08.59

Selasa, 24 November 2015

Kelas Inspirasi (Part 5) How It Comes To…

Ada berbagai macam perasaan yang berkecamuk menjelang dan setelah mulai mengajar di SDN Rumpet tersebut. Kecewa teramat sangat pada inkonsistensi teman-teman yang notabene sudah dewasa dan pada awalnya bersedia menjadi relawan, malah membatalkan kesepakatan tersebut pada hari H. Bukankah itu tindakan pengecut?

Jika diutamakan alasan, semua orang punya alasan untuk membatalkan keikutsertaannya. Jika semua relawan mau, mereka semua bisa mengeluarkan berbagai macam alasan. Begitupun saya, yang seharusnya hari Kamis itu mengajar mata kuliah biologi umum di prodi kimia. Bukanah itu juga sebuah alasan?  Namun ini bukan masalah ada atau tidaknya alasan untuk membatalkan. Disini ada masalah inkonsistensi. Ketidakseriusan.
Tidak pernahkah terpikir bahwa ada anak-anak yang sudah tahu tentang rencana kedatangan relawan ke sekolah mereka, yang berharap akan bertemu beberapa orang baru dan menceritakan pekerjaan mereka, yang akan menghibur mereka untuk sesaat. Tidakkah terpikir akan banyak yang dikecewakan?

Rasa syukurpun menggelayuti tubuh saya sejak pertama kali berbincang dengan guru-guru di sekolah tersebut. Memang benar bahwa saya harus lebih banyak lagi bersyukur. Lebih sering melihat ke bawah, agar lebih banyak menyadari bahwa posisi dan pekerjaan saya jauh lebih baik dibanding guru-guru di SD tersebut.

Mereka nyaris tidak punya waktu istirahat. Dari pukul 7 hingga pukul 1 siang menghandle sendiri kelas tersebut. Mengajar semua mata pelajaran. Tentu sangat melelahkan.
Sementara saya hanya perlu masuk kelas ketika ada jam mengajar. Waktu yang tersisa dapat digunakan untuk mempersiapkan baha ajar, menulis, browsing atau membaca jurnal.
Tanggung jawab yang harus mereka emban juga sangat besar. Mereka harus mengajar dan mendidik anak-anak tersebut “sendirian”. Tanpa pertolongan dari orang tua siswa di rumah.
Bukan tanpa alasan. Anak-anak yang bersekolah di SD tersebut merupakan anak-anak yang berasal dari keluarga yang berpendidikan rendah dan kurang mampu. Orang tua mereka hanya tamatan SD. Pekerjaan merekapun tak jauh-jauh dari petani atau pedagang kecil. Pendek kata, mereka tidak begitu paham pentingnya pendidikan bagi anak. Bagi mereka, sekolah lah tempat mendidik anak. Sekolahlah yang memiliki tanggungjawab untuk mengajar anak mereka. Sehingga mereka tidak perlu terlibat dengan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan anak-anak mereka.

Orang tua siswa tidak pernah datang jika diundang rapat ke sekolah. Mereka tidak akan hadir jika pihak sekolah meminta mereka berdiskusi tentang pengasuhan anak atau pengontrolan kebiasan belajar anak. Mereka hanya akan hadir di sekolah tersebut jika anak mereka bertengkar dengan temannya. Bukan untuk mendamaikan atau menasehati anak mereka yang terlibat perkelahian, namun untuk memukuli anak mereka di hadapan guru dan siswa lain, dengan tujuan agar si anak tersebut jera.
Bahkan salah seorang guru sempat berkata,”Mereka baru akan datang ke sekolah kalau uang bantuan pendidikan untuk anaknya cair. Bahkan kakek nenek mereka yang sudah mau meninggalpun ikut hadir mengambil uang tersebut”.
Tentu saja sang guru menyampaikan hal tersebut atas dasar kekecewaan yang mendalam kepada orang tua siswa yang hanya menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak mereka kepada sekolah. Bahkan uang yang diperoleh oleh orang tua siswa sebagai bentuk bantuan pemerintah pada anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu, agar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi keperluan sekolah sang anak justru digunakan untuk membeli baju si ibu atau beras.

Ada rasa penat dan lelah yang tergambar dari raut wajah guru-guru SD tersebut. Ada rasa terima kasih yang mereka selipkan diantara perbincangan kami. Setidaknya untuk sehari saja, mereka dapat rehat sejenak dan membiarkan anak-anak yang biasa mereka ajar dihibur oleh guru-guru inspirasi mereka.

Kekhawatiran pun tak kalah ingin muncul di wajah keriput guru-guru yang sudah bertahun tahun mengabdikan diri mereka untuk pendidikan.
“Rasanya kami akan percuma mengajar mereka. Karena setelah tamat SD mereka tidak akan menyambung sekolah lagi. Mereka akan nganggur dua tahun lalu menikah. Bahkan orang-orang tua mereka dulunya semua murid saya”. Begitu kata salah seornag guru yang sudah 26 tahun mengajar di SD tersebut.

Bukankah ini sesuatu yang sangat memilukan. Disaat anak-anak yang menamatkan SD berebut memilih masuk ke SMP favorit, anak-anak dari SDN Rumpet justru harus berhenti sekolah karena ketidakadaan biaya dan ketidakpedulian orang tua mereka, dan menikah pada usia yang masih sangat belia.
Bagaimana mungkin mereka dapat mendidik anak mereka dengan baik sementara mereka tidak memiliki pendidikan yang mumpuni?

Lelah yang saya rasakan selama melayani tunas-tunas Indonesia tersebut membawa saya kembali pada awal tahun 1996 hingga 2001ketika saya menjadi siswa sekolah dasar. Senang rasanya dapat menangkap dengan jelas memori masa itu sehingga dapat saya simpulkan bahwa saya bukanlah siswa yang nakal atau malas. Selama bersekolah, saya selalu menjadi siswa yang aktif, rajin, dominan dan tentu saja juara kelas. Saya bukanlah siswa yang suka membuat keributan atau kegaduhan di kelas. Bahkan dapat dibilang bahwa saya siswa kesayangan guru-guru SD saya.

Tidak dapat saya bayangkan apa yang akan saya rasakan setelah mengajar di SDN Rumpet tersebut jika dulunya saya adalah siswa yang nakal dan malas. Mungkin saya akan langsung pulang ke Bukittinggi, mencari guru-guru saya ketika SD, menangis-nangis dan meminta maaf karena telah menjadi siswa yang malas dan nakal.
Karena sungguh, mengajar siswa sekolah dasar merupakan pekerjaan yang sangat berat untuk dilakukan. Membutuhkan kesabaran luar biasa dan suara ekstra.
Anda tidak mungkin membentak mereka jika mereka ribut. Anda tidak mungkin memukul mereka jika mereka salah. Anda tidak mungkin mengusir mereka jika mereka berkelahi. Karena bukan begitu cara mendidik yang baik.

Rasa terima kasih dan penghargaan yang setingi-tingginya saya berikan kepada Bapak Ibu Guru dan teman teman yang mengabdikan diri mereka untuk mengajar di sekolah dasar. Saya tidak akan mampu seperti kalian. Jika negara ini tidak dapat memberikan penghargaan lebih atas kesabaran dan kekuatan kalian dalam menjalani tugas, semoga Allah SWT menggantinya dengan pahala yang tak terkira.
Pekerjaan yang kita pilih insya allah sudah tepat. Hanya tinggal mewarnainya dengan niat ikhlas dan basmalah setiap memulai pekerjaan tersebut.

Entahlah siswa siswi SDN Rumpet tersebut terinspirasi atau tidak dengan kedatangan kami kesana. Butuh waktu bertahun tahun dulu untuk membuktikan hal tersebut. Berpengaruh atau tidaknya kunjungan sehari tim Kelas Inspirasi tersebut hanya akan terlihat nanti. Ketika mereka telah menamatkan studi di SDN Rumpet. Namun yang pasti, saya merasa bahwa sayalah yang terinspirasi oleh mereka. Oleh kesabaran guru-guru SD tersebut. Oleh kondisi sekolah tersebut.
Bahwa terkadang kita lupa bersyukur.
Bahwa terkadang kita lupa melihat ke sekitar kita.
Betapa banyak orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Betapa banyak mereka yang bahkan tidak punya kesempatan untuk bermimpi.

Mengajar mereka membuat saya mensyukuri apa yang Allah berikan kepada saya.
Keluarga saya tidak sempurna. Bukan pula dari keluarga kaya yang bergelimang harta.
Tapi Allah memberikan kesempatan kepada saya untuk dididik dengan kasih sayang oleh nenek sejak umur 2 tahun hingga beliau meninggal dunia ketika saya berumur 8 tahun. Nenek yang mengajarkan saya untuk menjadi anak yang baik. Untuk selalu menolong orang-orang di sekitar saya. Untuk menyenangi belajar. Untuk selalu datang ke sekolah dan menjadi yang terbaik.
Ya! Saya tidak akan pernah lupa masa –masa kecil saya yang sangat menyenangkan itu. Masa dimana kecintaan saya terhadap belajar mulai terbentuk. Masa dimana beliau mengajarkan saya bahwa saya harus mengejar cita-cita saya.


Mengajar mereka membuat saya sadar, bahwa dengan bekerja pada bidang pendidikan belumlah cukup sebagai bukti bahwa saya peduli pada pendidikan di negara ini.
Saya harus terlibat lebih.
Berbuat lebih.
Bukan hanya karena ada uang yang didapat setelah mengajar.
Tapi karena keinginan untuk turun tangan dan melukis harapan untuk anak-anak Indonesia yang terabaikan dan kurang beruntung.

Mari berbuat lebih banyak teman!

Sampai Jumpa pada Kelas Inspirasi Tahun Depan!