Senin, 30 Juli 2018

Berhasil Relaktasi (Metode Praborini) Part 2 : Skin to Skin Contact



Perjalanan menuju RSUD Teukur Umar di Calang Kabupaten Aceh Jaya memakan waktu hampir 4 jam. Setelah melewati jalan-jalan berkelok-kelok, naik turun bukit dan hamparan laut nan indah, akhirnya kami sampai di rumah sakit pada pukul 12.47 WIB. Ada rasa yang berkecamuk di dalam dada selama di perjalanan. Sambil memeluk erat Shanum, saya terus berdoa agar Allah SWT mudahkan semuanya. Bayangan akan gagal relaktasi saya singikirkan jauh-jauh. Sambil terus memandangi pemandangan sekitar, saya panjatkan doa dan harap. “Nak! Semua demi Shanum”. Ingin rasanya suatu hari nanti, ketika dia telah beranjak dewasa, saya bawa Shanum menapaki jalan yang pernah saya tempuh untuk belajar menyusuinya lagi.

Setelah menghubungi Dokter Icha, kami langsung mengikuti instruksi beliau untuk mendaftar dan memasukkan barang-barang ke dalam kamar rawat inap. Di rumah sakit tersebut kami menempati kamar kelas I. Shanum diletakkan di atas tempat tidur. Suami dan ibu saya sibuk memasukkan barang bawaan dan menata posisi barang-barang di lantai. Saya hanya berdiri kaku sembari melihat ke setiap sudut ruangan. Jelas ini bukan kamar baru. Pasti telah banyak pasien-pasien sakit yang menginap di kamar ini. Dan sekarang anak saya. Anak saya yang sebenarnya tidak sakit dan tidak berpenyakit. Ya! Alhamdulillah. Anak saya sehat. Dada saya membuncah. Saya pandangi Shanum yang masih tertidur pulas. “Kemana saya bawa anak saya yang masih bayi ini?”. Seketika air mata saya tumpah. Langsung saya seka air mata itu. Saya tidak mau ada orang yang melihat saya menangis.

Tak berapa lama, Dokter Icha datang. Hari itu diawali dengan konseling. Dokter menjelaskan kewajiban perempuan untuk menyusui berdasarkan firman Allah SWT dalam Al Quran dan kewajiban suami untuk mencari nafkah. Lebih lanjut dokter juga memaparkan bahaya yang akan menanti Shanum bila pada akhirnya ia harus minum susu formula. Pendek kata, konseling kala itu sarat ilmu dan semacam modal awal dan booster untuk memulai relaktasi.

Sesuai dengan metode Praborini, selama 24 jam pertama saya dan Shanum harus melakukan skin to skin contact. Ya! Saya sudah membaca semua tentang metode ini. Saya tahu apa saja yang akan saya lakukan. Bahkan saya hapal berapa dosis CTM yang akan diberikan kepada Shanum. Saya siap untuk menjalani relaktasi itu.

Hari Rabu, 27 Juni 2018 pukul 14.00 WIB relaktasi pun dimulai. Sebelum keluar ruangan dokter meminta saya untuk melepaskan pakaian bagian atas. Saya dan Shanum harus bertelanjang dada. Bahkan Shanum tidak memakai apapun selain popok dan kaos kaki. Selama 24 jam itu saya dan Shanum harus terus berdekatan. Baby moon, begitu yang selalu disebut Dokter Icha. Menjalani skin to skin contact bukan hal yang sulit lagi bagi saya, karena sebelum kami memutuskan untuk menjalani relaktasi, saya telah mencoba skin to skin contact di rumah meski tidak maksimal. Saya tidak melanjutkan skin to skin contact ketika tidur karena takut Shanum akan jatuh dari pangkuan saya. Selama 3 hari terhitung 20 Juni hingga 23 Juni, saya mencoba melakukan skin to skin contact dan menghentikan pemberian ASIP melalui dot. Kala itu tidak ada penolakan dari Shanum ketika diberikan ASIP melalui sippy cup dan pipet. Kemungkinan ini karena yang memberikan ASIP melalui dua media tersebut adalah saya. Namun, karena kami harus bepergian ke Banda Aceh menggunakan pesawat terbang, maka pada tanggal 24 Juni, kami kembali menggunakan dot untuk memberikan ASIP kepada Shanum agar selama di pesawat telinga Shanum tidak sakit karena perbedaan tekanan udara.

Siang hari itu terasa berat. Rasa percaya diri saya sempat runtuh melihat Shanum menangis dan menolak diberikan ASIP melalui spuit dan cup feeder. Terlebih dia sama sekali tidak melihat saya ketika ada perawat yang mencoba memberikan ASIP kepadanya. Shanum terus menangis dan tidak mau diberi ASIP. Saya mulai panik. Keringat dingin bercucuran membasahi kening saya meski ruangan itu memiliki pendingin udara. Saya tidak tega mendengar Shanum menangis. Saya memang tidak membiasakan Shanum menangis. Menurut informasi yang saya baca, bayi yang dibiarkan menangis akan merasa diabaikan sehingga akan tumbuh menjadi anak yang minder dan pemarah. Karena itulah saya berusaha selalu menjadi ibu siaga dengan tidak membiarkan anak saya menangis terlalu lama. Shanum hanya saya izinkan menangis ketika mandi di pagi hari. Meski sebenarnya mandi adalah salah satu rutinitas favorit bayi montok saya itu.

Menjelang sore, suami dan ibu saya berhasil memberikan ASIP pada Shanum. Sepertinya karena lapar makanya mau tidak mau ia meminum ASIP meskipun sesekali menangis. Saya mulai sedikit lega, terlebih Shanum langsung tertidur karena sudah merasa kenyang.

Selepas maghrib Shanum kembali menunjukkan rasa kesalnya. Lagi-lagi ia merengek. Meski sudah digendong dan diayun, Shanum tidak kunjung tidur. Padahal biasanya amat gampang membuatnya tidur. Cukup digendong posisi tegak sambil dinyanyikan lagu huruf hijaiyah kesukaannya. Tapi hari itu semua tidak mempan. Ibu dan suami kembali memberikan ASIP melalui cup feeder. Kali ini Shanum sudah lebih tenang minum ASIP dari cup feeder karena sudah ibu dan suami sudah tahu caranya. Yaitu dengan meletakkan cup feeder diatas lidah Shanum, sehingga ia bisa mengontrol jumlah ASIP yang akan diminum.

Selepas minum ASIP saya kembali melanjutkan skin to skin contact. Saya mulai kelelahan. Lengan saya mulai keram. Kaki saya terasa pegal. Terang saja. Telah berjam-jam saya menggendong bayi yang beratnya mencapai 7.5 kg ketika relaktasi itu dilakukan. Shanum kembali menangis. Saya terus dekap ia di pelukan saya. Saya terus bicara di telinga kirinya. Biasanya anak baik budi itu selalu paham dan mengerti apa yang saya minta. Seperti ketika saya demam saat ia berumur 2 bulan. Saya minta ia tidur cepat dan tidak menangis saat malam karena saya harus minum obat. Dan benar, ia sudah tidur sebelum Isya dan tidak bangun sama sekali malam harinya. Saya saja yang terus berusaha memberikan ASIP setiap 2 jam yang kala itu masih menggunakan dot. Shanum juga berhasil membuat saya terpukau karena ia sangat anteng ketika saya bawa ke masjid untuk melaksanakan Idul Fitri saat dia beurmur 3 bulan. Shanum sama sekali tidak terpengaruh dengan tangisan anak-anak lain. Ia fokus pada mukena jamaah yang tertiup angin. Shanum bermain sendiri sampai saya selesai sholat. Padahal saya sudah ketakutan kalau-kalau Shanum akan menangis dan menggangu kenyamanan sholat di masjid tersebut.

Namun di rumah sakit kala itu, Shanum sangat berbeda. Semakin saya berbisik di telinganya, ia seolah makin kesal. Semakin saya nanyikan lagu kesukaannya, ia semakin merengek. Jelas bayi saya sedang protes dengan kondisi yang dia alami saat itu. Sebenarnya saya ingin berhenti menggendong Shanum. Namun untuk memberikan Shanum kepada suami dan ibu, saya juga tidak tega. Mereka juga sudah terlihat lelah. Raut sedih jelas terlihat di wajah mereka melihat Shanum yang sedang ‘tersiksa”.

Menjelang pukul 9 malam, dokter berkunjung ke ruangan kami. Seperti sebelumnya, dokter menanyakan progress Shanum. Tentu saja tak lupa menceritakan pengalaman pasien lain yang berhasil relaktasi dan memberikan semangat untuk saya. Meyakinkan ibu dan suami bahwa semua akan baik-baik saja. Dan seolah tahu bahwa ada sesuatu yang belum tersampaikan dari saya. Dokter mulai memancing. Meminta saya menyampaikan uneg-uneg. Dan benar saja. Air mata saya tumpah. Rasa sedih, minder, galau yang selama ini tak sempat saya sampaikan kepada suami dan ibu, akhirnya mereka dengarkan sendiri. Panjang lebar saya utarakan apa yang saya rasa. Tentang betapa lelahnya saya menangis sendiri. Betapa hancurnya perasaan saya melihat Shanum menolak saya susui. Betapa sedihnya saya melihat ASI saya berkurang. Betapa mindernya saya melihat ibu-ibu lain yang dengan lancar dapat menyusui anaknya. Dan tentang betapa inginnya saya menyusui anak saya sendiri selama 2 tahun pertama kehidupannya. Ya! Sambil menggendong Shanum saya terus meluapkan isi hati saya. Sedu sedan. Rasanya ada banyak hal yang selama ini saya simpan sendiri. Ada rasa yang hanya saya tanggung sendiri.

Kunjungan dokter malam itu berakhir tak lama setelah sesi curhat saya selesai. Dokter Icha menyampaikan kalau kami semua harus siap-siap just in case Shanum akan ‘mengamuk’ pukul 2 pagi. Karena biasanya bayi relaktasi lainnya akan bangun dan menangis menjelang dini hari. Dan menurut sang dokter, jika Shanum tidak terkendali, ia akan diberi CTM agar lebih calm.

Saya letakkan Shanum di tempat tidur karena saya harus pumping. Payudara saya terasa sangat penuh. Terlebih stock ASIP Shanum sudah habis. Tidak ada ASIP yang akan diberikan kalau-kalau Shanum bangun tengah malam nanti. Tak butuh waktu lama untuk mengisi 2 botol kosong itu dengan ASI. Tepat pukul 11 malam saya sudah selesai pumping dan hendak tidur karena saya juga sudah mengantuk. Sambil berbaring, iseng saya sodorkan payudara ke Shanum, dan dia menghisapnya. Ya! Alhamdulillahirabbil alamin. Akhirnya Lashirashanum Setya Lahfah kembali menghisap payudara saya lagi setelah 3 bulan lamanya minum ASI melalui dot.

Tangisan saya pecah. Tak henti saya ciumi anak saya yang sedang asyik menghisap payudara saya. Meski sesekali puting masih terlepas dari mulutnya, ia terus menghisap dan menghisap. Air mata saya seolah tak ingin berhenti mengalir. Akhirnya saya merasa utuh menjadi seorang ibu. Saya menyusui anak saya. Ibu saya yang juga ikut menyaksikan moment itu terus mengucap syukur. Kami sangat bahagia melihat Shanum kembali minum ASI langsung dari saya. “Shanum sedih mendengar Mami nangis tadi, makanya sekarang langsung netek. Tadi kan selama Ayu curhat ke dokter, Shanum lagi digendong’, kata Ibu. Ya! Bisa saja. Mungkin saja benar ia mau menghisap payudara saya karena akhirnya tahu apa yang selama ini dirasakan Maminya.. Anak itu mendengar semua curahan hati Maminya. Ia mengerti kegundahan Maminya.

Segera saya dokumentasikan moment berharga itu. Tak lupa saya kirimkan ke dokter disertai dengan ucapan terima kasih karena tak henti memberi semangat dan menguatkan kami sekeluarga.

Dan malam itu berlalu dengan indah. Shanum menyusu selama 2 jam. Meski puting selalu terlepas dari mulutnya. Ia terus mencoba menghisap dan menghisap. Saya pun terus berusaha agar payudara saya tidak lepas dari mulut Shanum.

(bersambung….)

Part 3 : Shanum, lip tie dan tounge tie.



.
.
.
.
.
.
.
.

Ayu Nirmala Sari, M.Si
Dosen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Ar Raniry Banda Aceh
Instagram: ayunirmalasari02


Rabu, 18 Juli 2018

Berhasil Relaktasi (Metode Praborini) Part 1 : Mengenal Relaktasi



Dihadiahi seorang bayi cantik dalam tahun pertama pernikahan kami adalah kado terindah dalam hidup saya. Lebay? Rasanya tidak. Karena hidup saya 180 derajat berubah setelah kehadiran Shanum. Dan seketika semuanya menjadi lebih indah sejak Shanum hadir dan menjadi amanah terbesar yang Allah SWT titipkan pada saya.

Saya menikah tanggal 21 Mei 2017 lalu. Selang sebulan kemudian, saya mulai merasakan dada nyeri, pinggang nyeri dan mood naik turun yang saya kira gejala menstruasi. Tidak terpikir bahwa akan secepat itu Allah SWT hadirkan Shanum dalam rahim saya.

Moment dimana saya melihat ada dua buah garis merah pada 8 buah testpack yang saya gunakan kala itu akan selalu menjadi sesuatu yang indah untuk saya kenang. Sendirian, jauh dari suami, hanya dipandu oleh teman-teman dekat di grup WA. Ya! Saya hanya bisa menangis sendiri di rumah ketika mengetahui bahwa saya sedang hamil. Berjam-jam saya menangis haru setelah melihat dua garis merah itu. Saya dan suami bekerja di kota yang berbeda sehingga mau tidak mau untuk sementara ini kami harus menjalani LDM. Saya bekerja sebagai dosen di Banda Aceh sedangkan suami saya dosen di kota Medan. Sehingga kabar kehamilan saya hanya dapat dikabarkan melalui Video Call.

Menginjak 40 minggu usia kehamilan, saya belum merasakan adanya kontraksi. Entahlah. Saya tidak tahu apa itu kontraksi, atau yang biasa digambarkan oleh teman-teman seperti rasa mau BAB tapi berkali-kali lipat sakitnya. Hmm.. saya sering mules. Tapi setelah itu pasti BAB. Pendek kata, saya tidak pernah mengalami kontraksi.

Meski segala cara sudah saya lakukan, mulai dari rutin senam hamil, latihan pernapasan, ngepel sambil nungging-nungging, induksi alami, bahkan jalan-jalan ke mall sampai mau tutup. Tapi tidak satupun dari jurus-jurus itu yang membuat adanya terjadi bukaan. Hingga begitu due date nya, sang dokter memutuskan untuk melakukan sectio caesaria, dengan pertimbangan kondisi: bayi sudah cukup umur, diameter kepala bayi besar, air ketuban sedikit, plasenta yang sudah mulai tidak bagus serta berat badan bayi yang sudah mencapai angka 3,6 kg.

Dan untuk pertama kalinya tangisan Shanum terdengar pada hari Sabtu 17 Maret 2018 pukul 11.15 WIB, disebuah rumah sakit di kota Medan. Dia lahir dengan panjang 51 cm dan bb 3,6 kg..

Happy? Tidak! Saya tidak hanya happy tapi amat sangat happy. Tidak tergambarkan rasa bahagianya. Luar biasa rasanya menjadi ibu. Tidak sabar rasanya untuk memeluk Shanum dan menyusuinya. Meski kekhawatiran saya akan gagal menyusui juga besar. Karena saya memiliki puting pendek.

Bodohnya saya, saya skip mencari informasi mengenai breast feeding. Karena dalam bayangan saya. Menyusui hanya sesimpel menyodorkan payudara ke mulut bayi dan bersabar hingga bayi kenyang. Ya! Saya terlalu yakin dengan ilmu saya yang tidak seberapa. Padahal, saya membaca semua tentang kehamilan, cara merawat bayi, merangsang motorik kasar dan halus serta mengenai MPASI. Tapi mengenai hal yang amat sangat esensial dengan bodohnya saya abaikan. Tolong jangan dititu!

Begitu perawat menanyakan kepada saya apakah Shanum akan disusui langsung atau dikasih susu formula (sufor), dengan tegas saya menjawab saya mau direct breast feeding. Maka Shanum pun ditinggalkan di ruangan bersama saya. Kenapa saya mantap untuk menyusui langsung? Karena sejak 7 bulan, ASI saya sudah keluar. Kemungkinan ini efek disebabkan karena rutin memijat payudara. Setiap hari ketika mandi dan mau tidur saya memijat payudara agar ASI lancar.

Namun, begitu Shanum disusui, ASI belum juga keluar. Sehingga Ibu saya memutuskan untuk memencet-mencet puting saya dan rasanya luar biasa sakit. Bahkan mengalahkan sakitnya bekas luka operasi. Dan pada akhirnya saya tahu bahwa memerah ASI bukan dengan memencet puting tapi memencet daerah aerola dan mendorongnya ke arah depan.
Setelah menahan sakit karena puting yang terus dipencet, akhirnya ASI saya keluar. Saya kegirangan seperti monyet yang dikasih pisang. Seketika sakit di puting tadi hilang. Lalu Shanum mulai disusui. Lagi-lagi karena saya merasa puting saya pendek, maka proses menyusui Shanum tidak berlangsung dengan lancar. Puting saya selalu terlepas dari mulut Shanum. Dan ketika puting tidak lagi di dalam mulutnya, ia pun mulai menangis. Shanum harus ditenangkan dulu sebelum mulai menyusui.

Drama pun dimulai. Saya mulai ciut. Mulai merasa bodoh. Mulai takut. Mulai gelisah. Apa yang salah? Kenapa anak saya tidak bisa menyusui dengan benar? Yang saya lakukan saat itu hanyalah menyalahkan diri saya sendiri. Karena tidak bisa duduk dengan benar, tidak bisa menahan sakit pasca sc sehingga posisi menyusui tidak benar. Saya juga terus menyalahkan puting saya yang pendek. Saya terus menyalahkan diri saya. Terlebih ibu saya terus mengkhawatirkan Shanum akan kehausan. Ibu terus mengatakan bahwa dulu juga mengalami hal yang sama. Sulit menyusui karena puting pendek. Tapi karena melahirkan normal maka posisi menyusuinya bisa benar. Saya semakin tertekan. Bagi saya yang terpenting saat itu adalah bagaimana caranya Shanum dapat cukup ASI. Tidak dehidrasi. Sehat dan baik-baik saja. Dan keputusan terbodoh pun kami ambil. Kami memutuskan untuk memberikan ASI melalui dot.

Ketidaktahuan kami, tidak. Saya lebih senang menyebutnya kebodohan. Kebodohan kami membuat Shanum akhirnya mengalami kondisi sulit. Shanum mengalami bingung puting. Dot telah membuat saya sebagai Maminya kehilangan cinta anak saya sendiri. Shanum sejak umur dua hari mulai minum ASI melalui dot. Namun saat itu saya hanya fokus pada bagaimana caranya membuat bayi saya kenyang. Selama 17 hari saya biarkan Ibu saya memberikan ASIP melalui dot kepada Shanum. Dan ketika Ibu pulang ke Padang, saya mulai mengurus Shanum sendirian. Iseng-iseng saya coba untuk menyodorkan payudara ke Shanum. Dia menolak. “Mungkin dia kenyang”, pikir saya.

Hari berlalu, menginjak usia hampir 1 bulan saya kembali mencoba menyusukan Shanum. Dan reaksinya jauh lebih hebat. Shanum meronta-ronta. Dia menangis kejer menolak disodorkan payudara. Saya terduduk lemas melihat reaksi Shanum. Sendirian di rumah karena suami sedang bekerja. Saya tidak punya siapapun untuk berbagi di rumah. Maka begitu malam tiba, saya minta izin pada suami untuk mengajak Shanum bertemu dengan konselor laktasi di RS. Suami setuju.

Tepat ketika Shanum berumur 1 bulan, saya menemui konselor laktasi. Saya bercerita panjang lebar mengenai kekhawatiran saya dan bagaimana hancurnya hati saya sebagai seorang ibu melihat bayinya menolak disusui. Merespon penjelasan saya, sang konselor mencoba meyakinkan saya bahwa saya harus mengikhlaskan kalau saja relaktasi itu tidak berhasil. Kalau saja Shanum ternyata memang lebih senang dengan dotnya.

“Kenapa Bunda mau relaktasi? Relaktasi ini untuk siapa? Untuk Shanum atau untuk memenuhi keinginan Bunda?”.

Saya tidak mampu menjawab pertanyaan sang konselor. Hati saya rasanya jauh lebih hancur dibanding sebelumnya. Pertanyaan sang konselor seperti menampar kedua pipi saya dengan kuat.

“Bunda harus mengikhlaskan kalau ternyata dot inilah pilihan anak Bunda”, sambungnya.
“Saya tidak mau Bu. Saya mau Shanum menyusu ke saya langsung,” jawab saya.

Saat itu saya tidak tahu apa dampaknya jika Shanum terus-terusan menyusu lewat dot. Yang saya tahu adalah Shanum harus menyusu langsung agar pertumbuhan giginya tidak terganggu. Padahal, ada banyak sekali kerugian yang akan diterima Shanum jika terus menerus minum ASIP melalui dot, seperti maloklusi gusi, infeksi telinga, terlambat bicara, tersedak, hingga gangguan psikologi seperti akan tumbuh menjadi anak dengan kepercayaan diri rendah. Terlebih, saya akan kehilangan 2 tahun moment berharga bersama Shanum. Saya tidak mau. Saya takut akan sangat menyesal nantinya. Saya sadar waktu tidak akan dapat saya putar kembali. Akan sangat tidak enak hidup dalam penyesalan.

Setelah bincang-bincang dengan sang konselor selama hampir 15 menit, beliau meminta saya menunjukkan bagaimana cara saya menyusukan Shanum. Bagaimana posisi perlekatan Shanum. Dan tidak ada yang salah. Posisi yang saya gunakan untuk mencoba menyusui Shanum sudah benar.

Selama 1 jam saya harus rela dan tega melihat Shanum menangis kejer menolak disodorkan payudara. Dan selama satu jam pula sang konselor terus berupaya agar Shanum mau menghisap puting saya. Dan pada 10 menit terakhir. Shanum menghisap payudara saya setelah hampir satu bulan tidak menyusu langsung. Senang sekali rasanya. Akhirnya Shanum menyerah menolak paydara saya. Begitu sampai di rumah pun saya terus menyodorkan payudara saya meski lebih sering ditolak daripada dihisap.

Saya lupa, bahwa masalah sebenarnya belum datang. Selepas Magrib, saya mulai kesulitan menghadapi Shanum. Dia terus menangis dan menolak diberi ASI melalui pipet. Dia terus menangis hingga saya kelelahan. Suami saya mulai menggendong Shanum dan mencoba memberikan ASIP melalui pipet. Shanum tetap menangis. Suami saya akhirnya menyerah. Dia tidak setuju dengan cara sang konselor langsung stop penggunaan dot pada Shanum. Baginya cara itu menyiksa Shanum. Berkali saya jelaskan bahwa memang itulah caranya. Untuk mengatasi kondisi bingung puting pada Shanum harus diawali dengan menghentikan secara total penggunaan dot. Dengan nada kesal, suami menyalahkan saya yang menghentikan penggunaan dot pada Shanum secara serta merta. Seketika semangat saya runtuh. Saya ciut seciut-ciutnya. Rasanya ada gunung yang runtuh di dalam diri saya melihat suami kembali memberikan ASIP melalui dot hanya karena tidak tega melihat Shanum menangis. Lalu bagaimana dengan saya yang siang harinya harus melihat Shanum menangis meronta selama satu jam? Malam itu saya menyerah.

Shanum berumur 1 bulan 2 minggu ketika saya menemukan akun di instagram yang menyediakan jasa pijat bayi, pijat ibu dan jasa konselor laktasi. Rupanya akun Sekolah Emaak itu dikelola oleh seorang dosen yang memiliki sertifikat internasional dalam hal pijat bayi. Saya menghubungi owner Sekolah Emak dan memesan jasa pijat bayi. Pada kedatangan pertama, Sekolah Emak mengutus seorang konselor laktasi sehingga saya bisa berkonsultasi mengenai kondisi bingung puting pada Shanum. Dengan mantap sang konselor mengatakan bahwa Shanum memiliki lip tie.

Saya telah membaca sebelumnya bahwa solusi untuk lip tie ini adalah insisi atau pemotongan. Namun saya tidak tahu bahwa ternyata Shanum memiliki lip tie. Menurut info dari sang konselor, Saya dapat menemui dokter yang biasa menangani lip tie ini di RS Colombia. Saya merasa tercerahkan menerima informasi tersebut. Segera saya kabarkan kepada suami mengenai informasi yang saya terima. Respon suami saya tidak seperti yang saya duga. Seolah dia tidak senang jika Shanum akan menghadapi operasi mini. Namun saya tetap optimis. Saya yakin bahwa setelah insisi, Shanum akan dapat menghisap dengan baik.

Menjelang Shanum berumur 3 bulan, ASI saya mulai seret. Saya kelelahan, jenuh dan stress dengan apa yang saya alami. Shanum memang tumbuh dengan baik dan cepat belajar. Namun saya merasa masih kekurangan waktu untuk bermain dengannya. Bagaimana tidak? Saya harus memompa ASI setiap 2 jam. Lalu memberikan ASIP melalui dot kepada Shanum. Dan itu berlangsung setiap hari. Kemanapun saya pergi, harus membawa peralatan pompa, dot dan ASIP untuk Shanum. Repot. Sangat merepotkan. Bahkan ketika suami sudah turun tangan membantu mengurus Shanum pun, saya masih merasa kerepotan dan kurang istirahat. Bagaimana nanti jika cuti saya telah habis dan harus kembali bekerja? Bagaimana nanti jika saya harus kembali ke Banda Aceh? Siapa yang akan menemani Shanum selama saya pumping? Siapa yang akan memberikan ASIP kepada Shanum disaat saya harus pumping? Siapa yang akan mengambilkan stok ASIP dari kulkas pada malam hari disaat saya memberikan dot pada Shanum?

Saya panik begitu melihat ASI yang saya pompa hanya sampai menyentuh pantat botol. Saya bangunkan suami yang sudah tertidur. Sudah hampir jam 11 malam. Saya merengek, menangis. Saya mulai menyalahkan suami yang tidak mendukung relaktasi Shanum ketika berumur 1 bulan. Saya menyalahkan suami yang tidak juga membawa Shanum untuk insisi. Saya menyalahkan suami karena merampas hak Shanum untuk minum ASI selama 2 tahun. Saya terus menangis dan menyesali semuanya.

Saya pandangi wajah anak saya. Anak baik budi itu harus berhenti meminum ASI saya? Anak yang sangat pengertian itu harus saya beri susu formula? Saya tidak rela. Saya akan sangat menyesal. Maka mulai saya hubungi teman-teman yang sedang menyusui anak perempuan agar menyediakan ASIP untuk Shanum, just in case esok harinya ASI saya tidak keluar lagi. Suami saya hanya tertunduk lesu. Lalu dia bergegas keluar rumah. Rupanya dia membelikan susu formula karena takut anaknya akan kehausan.

Malam itu saya tidak bisa tidur. Saya hanya terus menunggu agar dua jam cepat berlalu sehingga saya bisa mulai pumping. Saya tidak peduli jika ASI yang keluar hanya sedikit, saya terus memompa. Ada air mata yang terus mengalir yang menemani saya selama pumping. Saya benar-benar tidak ingin Shanum berhenti minum ASI.

Tepat pada tanggal 18 Juni 2018, saya mulai mencari info mengenai program relaktasi. Hingga akhirnya pencarian saya sampai kepada akun instagram milik seorang dokter spesialis anak, Siti Habsyah Masri. Rupanya DSA tersebut baru saja pindah tugas dari RS di Medan ke RSUD Teuku Umar di Calang, Kabupaten Aceh Jaya. Setelah beberapa lama stalking akun beliau, akhirnya saya mantap untuk mulai menghubungi nomor telepon yang tertera.

Seperti dugaan saya, Dokter Icha, sapaan dokter tersebut, mengharuskan saya dan Shanum untuk rawat inap. Karena metode Praborini yang saya ketahui juga menganjurkan rawat inap untuk relaktasi dan induksi laktasi. Awalnya sempat ragu untuk mengikuti saran beliau. Kenapa? Karena saya tidak kenal beliau dan tidak tahu track recordnya, jarak Calang dan Banda Aceh yang cukup jauh, biaya proses relaktasi yang tidak saya ketahui besarannya, kemungkinan relaktasi yang gagal, dan takut kalau-kalau suami juga tidak mendukung keinginan saya. Sembari konsultasi dan menanyakan ini itu, saya terus stalking akun beliau, karena sedikit banyaknya sepak terjang seseorang akan kelihatan dari postingan di akun media sosialnya.

Selama konsultasi melalui aplikasi Whatsapp, Dokter Icha mengirimkan link-link blog orang-orang yang membahas relaktasi, yang kebetulan sudah saya baca sebelumnya. Namun saya terus googling mengenai cerita teman-teman yang sudah berhasil relaktasi. Dari artikel ilmiah yang dikirimkan dokter tersebut, saya mendapat gambaran yang jelas mengenai apa yang akan saya dan Shanum lakukan dan alami selama relaktasi. Bahkan dokter Icha juga memberikan kontak salah satu mantan pasiennya yang juga telah berhasil relaktasi, Kak Niar namanya. Setelah mendengar pengalaman Kak Niar inilah saya dan suami mantap untuk menempuh 4 jam perjalanan darat menuju Calang. Bersama kami juga turut serta ibu yang saya mintai tolong untuk datang ke Banda Aceh dan menemani kami selama proses relaktasi.

(bersambung)


Part 2 : Skin to Skin Contact



.
.
.
.
.
.
.
.

Ayu Nirmala Sari, M.Si
Dosen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Ar Raniry Banda Aceh


Instagram: ayunirmalasari02