Senin, 16 November 2015

Presentasi Komat Kamit



Tak bisa lupa rasanya masa-masa dimana saya bergelut dengan kegiatan perkuliahan di sebuah universitas negeri di kota Padang untuk mendapat gelar sarjana. Kuis, diskusi, presentasi, praktikum, membuat laporan, hingga keluar masuk perpustakaan untuk mencari buku sumber, seolah menjadi rutinitas wajib setiap harinya.

Hampir semua dosen yang mengajar di kelas saya menggunakan metode presentasi kelompok untuk mennuntaskan tujuan pembelajaran dan menunjang ketercapaian indikator mata kuliah tersebut. Rasanya tak salah jika metode tersebut yang dipilih, karena tidak hanya bermanfaat untuk kelompok mahasiswa yang melakukan presentasi, tapi juga dapat dimanfaatkan dengan baik oleh mahasiswa lain sebagai ajang diskusi dan share pengetahuan.

Masih ingat benar apa yang dirasa ketika mendapat giliran presentasi untuk minggu depan.
Pertama, saya dan teman-teman satu kelompok akan mulai mendistribusikan tugas. Membagi-bagi siapa yang bertanggungjawab untuk materi apa. Untuk nantinya di share ke teman di kelompok tersebut.

Kedua, kami akan menentukan jam berapa dan dimana bertemu untuk sama-sama ke perpustakaan guna menemukan buku-buku yang bisa dipinjam. Makin banyak yang ikut, makin banyak buku yang bisa dibawa pulang. Ya! Kala itu penggunaan internet belum sedahsyat sekarang.

Ketiga, kami akan mulai membaca buku dan membuat catatan mengenai hal-hal apa saja yang harus dipresentasikan, serta merumuskan kemugkinan pertanyaan yang akan ditanyakan oleh teman-teman dan mencarikan jawaban yang memungkinkan.

Keempat, di rumah masing-masing, kami mulai mendalami bahan yang akan diprsentasikan agar tidak tampil ‘malu-maluin’di depan kelas.

Tidak jarang cermin menjadi sasaran empuk untuk latihan presentasi. Saya akan menghafal ini itu, komat kamit di depan cermin agar dapat tampil presentasi dengan baik. Terlebih di awal perkuliahan, kampus saya belum menggunakan proyektor in focus, namun masih menggunakan OHP, sehingga tidak banyak yang bisa ditampilkan. Ya! Saat itu, kami masih menggunakan OHP, sehingga setiap kali mempersiapkan bahan presentasi, anggota kelompok pasti akan mengutip uang beberapa ribu untuk membeli plastik dan spidol. Harus menulis dengan tangan dan menggambar sendiri apa yang akan ditampilkan di hadapan teman-teman sekelas.

Beberapa saat menjelang presentasi merupakan hal yang menegangkan. Takut lupa. Takut salah. Takut tidak mampu menjawab pertanyaan yang diajukan teman.

Masih ingat jelas. Bagaimana ‘rempong’ nya persiapan menjelang presentasi. Pun masih ingat jelas suasana ketika harus mempresentasikan bahan yang sudah dibaca. Mempresentasikan. Bukan membaca apa yang tertulis di layar. Bukan membelakangi teman-teman yang berharap diberi penjelasan. Tapi memaparkan ini itu yang sudah dipahami guna membuat mereka yang hadir juga mendapat pemahaman yang sama.
Ketika saya berada pada posisi mendengarkan presentasi, saya merasa itu sebuah kesempatan untuk dapat menunjukkan apa yang saya ketahui. Mencoba menjawab pertanyaan yang diajukan oleh teman lain. Mencoba ‘membantu’ kelompok penyaji untuk dapat membuat penanya mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Rasanya menyenangkan bisa terlibat. Tidak jarang ada rasa malua untuk menjawab pertanyaan karena takut salah dan malu. Tidak jarang juga rasa menyesal hadir, karena ternyata apa yang seharusnya saya utarakan adalah hal yang benar, namun urung disampaikan karena malu dan takut yang berkecamuk.

Ya. Hal itu yang saya ingat mengenai persiapan presentasi saya semasa kuliah. Mengingat dampak yang bagus dari metode itu, setelah menjadi dosenpun, metode ini juga menjadi metode yang favorit untuk diaplikasikan.
Diawali dengan meminta mahasiswa membaca 5 ayat Alquran di awal perkuliahan.
Kemudian memberikan soal kuis terkait materi yang akan dipelajari. Tentu saja pada awal perkuliahan sudah disepakati bahwa setiap awal pertemuan akan diberikan kuis.
Selanjutnya dosen bertindak sebagai moderator dan mengarahkan presentasi dan diskusi. Selama presentasipun, saya sesekali bertanya dan meluruskan apa yang disampaikan oleh penyaji agar pendengar tidak mendapatkan pemahaman yang salah. Setelah penyaji selesai presentasi, diberikan kesempatan kepada audiens untuk bertanya atau mengoreksi apa yang sudah mereka dengar. Kemudian saya akan menengahi atau meluruskan pemahaman yang kurang tepat atau penjelasan yang kurang lengkap. Dalam menjelaskan materi, saya berikan soal-soal yang memancing pengtahuan lama mereka. Kemudian dengan perlahan mulai memaparkan ini itu dan bertanya berkali kali “Apa ada yang tidak mengerti?” untuk memastikan bahwa semua sudah satu pemahaman dengan saya. Itulah kondisi normal yang pernah terjadi dan saya harapkan terjadi pada setiap mata kuliah yang saya ampu. Namun sayangnya, hal tersebut tidak selalu terjadi.

Pengalaman yang saya miliki semasa mempersiapkan presentasi ketika masih menjadi mahasiwa calon sarjana, sangat berbeda nyata dengan apa yang saya lihat sekarang ketika telah menjadi dosen.

Mahasiswa sekarang gagal paham akan kegunaan teknologi. Mereka bergantung pada teknologi. Menuhankan teknologi. Sehingga merasa ‘mati’ bila tidak ada sentuhan teknologi.
Miris rasanya melihat mahasiswa yang seharusnya menjadi penyaji dalam sebuah diskusi, malah hanya menjadi pembaca slide. Terpaku pada slide. Membaca kata demi kata yang berderet rapat dalam slidenya. Membelakangi teman-teman sekelas yang seharusnya menjadi audiensnya. Selesai membaca slide yang satu, tanpa pengulangan, tanpa penegasan, dengan nada datar dan tanpa ekspresi, iapun akan melanjutkan ke slide berikutnya.

Sering saya coba bertanya tentang apa yang telah dipresentasikan semenit sebelumnya. Dan benar saja. Ia sama sekali tidak ingat apa yang baru saja dibacakan. Sama sekali tidak tahu apa yang baru saja dipresentasikan. Dan sudah pasti tidak akan mampu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh teman-teman dikelasnya.

Mereka hanya mencuri slide yang ada pada google. Menambahkan beberap slide yang mereka rasa perlu. Bahkan ada yang hanya mengkopi kalimat-kalimat yang ada pada blog orang lain tanpa memahami apa yang dikopi. Sehingga jika ada yang bertanya, mereka akan terlihat sangat bingung. Karena mereka hanya mengcopaste tanpa memahami.

Tidak hanya itu, slide yang harusnya hanya sebagai “guide” dalam presentasi, berubah seperti layar besar yang penuh tulisan. Miskin gambar. Kurang skema. Minus grafik. Tanpa video. Monoton. Hambar. Tidak informatif. Padahal ada begitu banyak gambar berserakan di internet yang dapat digunakan sebagai alat bantu untuk menjelaskan apa yang ingin disampaikan. Ada begitu banyak bagan, grafik atau skema. Ada jutaan video yang bisa digunakan sebagai bahan tayang.

Bahkan pernah saya lihat kelompok penyaji yang menggigil ketika presentasi hanya karena listrik padam sepuluh menit setelah presentasi dimulai. Mereka pucat pasi dan gemetar. Terlebih begitu saya meminta mereka menjelaskan apa yang mereka pahami tanpa harus melihat contekan yang telah mereka rampungkan.

Ada lagi tipikal mahasiswa yang tidak hadir ketika ia harus presentasi, entahkah dengan alasan sakit, pulang kampung atau alasan lain. Disaat teman sekelompoknya komat kamit di depan kelas untuk “membaca” dan mencoba menjawab pertanyaan teman-teman sekelas, dia memilih tidak hadir dan mengabarkan melalui SMS. Untuk kasus yang seperti itu, tentu saja saya punya cara untuk mengatasinya. Saya tempatkan ia di kelompok lain yang akan presentasi pada pertemuan selanjutnya. Semua mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan saya harus mendapat kesempatan yang sama bukan? No excuse.

Ketika mengajar, beberapa kali saya minta mereka untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasan yang salah dalam belajar. Perlahan mulai memperbaiki cara belajar. Mulai membiasakan belajar. Mulai bertanggungjawab dengan tugas presentasi. Terlebih jika mereka calon guru. Yang harus mampu menguasai kelas. Yang harus mampu untuk membuat orang lain mengerti dengan apa yang mereka presentasikan. Tidak perlu buru-buru. Ingat saja bagaimana cara guru-guru SD kita dulu menjelaskan pelajaran. Bukankah mereka juga tidak menggunakan teknologi apapun? Hanya bermodalkan kapur dan penghapus papan.
Mengertikah kita dengan yang mereka ajarkan?
Pahamkah kita dengan apa yang mereka sampaikan?
 Ya! Kita mengerti. Kita Paham. Kenapa?
Karena mereka paham apa yang mereka sampaikan.
Karena mereka mengerti apa yang mereka ajarkan.
Bagaimana mungkin kita bisa membuat orang lain mengerti dengan apa yang kita sampaikan jika kita tidak mengerti dengan apa yang kita bicarakan. Jika kita hanya membaca slide. Itu mustahil.

Sudahilan presentasi komat kamit itu.
Cobalah pahami apa yang akan dipresentasikan. Cobalah belajar lebih banyak. Tidak apa jika masih salah. Tidak apa jika masih ada yang keliru. Namanya juga masih belajar. Dari sanalah kita tahu mana yang benar.
Seriuslah belajar.
Sungguh-sungguhlah kuliah.
Masa depanmu kau yang menentukan.
Perbaikilah kebiasaan yang salah.
Mulailah berubah.
Jangan malu untuk mulai rajin belajar.
Temukan teman-teman yang baik, yang dapat membawa pengaruh positif. Yang dapat diajak belajar bersama-sama.
Kalian mahasiswa, pelajar, tugas kalian adalah belajar dengan baik. Maka buktikanlah bahwa kalian memang mahasiswa yang bertanggungjawab akan tugas kalian.


Selamat berproses mahasiswaku!




#ceritadosen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar