Tak
bisa lupa rasanya masa-masa dimana saya bergelut dengan kegiatan perkuliahan di
sebuah universitas negeri di kota Padang untuk mendapat gelar sarjana. Kuis,
diskusi, presentasi, praktikum, membuat laporan, hingga keluar masuk perpustakaan
untuk mencari buku sumber, seolah menjadi rutinitas wajib setiap harinya.
Hampir
semua dosen yang mengajar di kelas saya menggunakan metode presentasi kelompok
untuk mennuntaskan tujuan pembelajaran dan menunjang ketercapaian indikator mata
kuliah tersebut. Rasanya tak salah jika metode tersebut yang dipilih, karena
tidak hanya bermanfaat untuk kelompok mahasiswa yang melakukan presentasi, tapi
juga dapat dimanfaatkan dengan baik oleh mahasiswa lain sebagai ajang diskusi
dan share pengetahuan.
Masih
ingat benar apa yang dirasa ketika mendapat giliran presentasi untuk minggu
depan.
Pertama,
saya dan teman-teman satu kelompok akan mulai mendistribusikan tugas.
Membagi-bagi siapa yang bertanggungjawab untuk materi apa. Untuk nantinya di share ke teman di kelompok tersebut.
Kedua,
kami akan menentukan jam berapa dan dimana bertemu untuk sama-sama ke
perpustakaan guna menemukan buku-buku yang bisa dipinjam. Makin banyak yang
ikut, makin banyak buku yang bisa dibawa pulang. Ya! Kala itu penggunaan
internet belum sedahsyat sekarang.
Ketiga,
kami akan mulai membaca buku dan membuat catatan mengenai hal-hal apa saja yang
harus dipresentasikan, serta merumuskan kemugkinan pertanyaan yang akan
ditanyakan oleh teman-teman dan mencarikan jawaban yang memungkinkan.
Keempat,
di rumah masing-masing, kami mulai mendalami bahan yang akan diprsentasikan agar
tidak tampil ‘malu-maluin’di depan kelas.
Tidak
jarang cermin menjadi sasaran empuk untuk latihan presentasi. Saya akan
menghafal ini itu, komat kamit di depan cermin agar dapat tampil presentasi
dengan baik. Terlebih di awal perkuliahan, kampus saya belum menggunakan proyektor
in focus, namun masih menggunakan OHP, sehingga tidak banyak yang bisa
ditampilkan. Ya! Saat itu, kami masih menggunakan OHP, sehingga setiap kali
mempersiapkan bahan presentasi, anggota kelompok pasti akan mengutip uang
beberapa ribu untuk membeli plastik dan spidol. Harus menulis dengan tangan dan
menggambar sendiri apa yang akan ditampilkan di hadapan teman-teman sekelas.
Beberapa
saat menjelang presentasi merupakan hal yang menegangkan. Takut lupa. Takut
salah. Takut tidak mampu menjawab pertanyaan yang diajukan teman.
Masih
ingat jelas. Bagaimana ‘rempong’ nya persiapan menjelang presentasi. Pun masih
ingat jelas suasana ketika harus mempresentasikan bahan yang sudah dibaca.
Mempresentasikan. Bukan membaca apa yang tertulis di layar. Bukan membelakangi
teman-teman yang berharap diberi penjelasan. Tapi memaparkan ini itu yang sudah
dipahami guna membuat mereka yang hadir juga mendapat pemahaman yang sama.
Ketika
saya berada pada posisi mendengarkan presentasi, saya merasa itu sebuah
kesempatan untuk dapat menunjukkan apa yang saya ketahui. Mencoba menjawab
pertanyaan yang diajukan oleh teman lain. Mencoba ‘membantu’ kelompok penyaji
untuk dapat membuat penanya mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Rasanya
menyenangkan bisa terlibat. Tidak jarang ada rasa malua untuk menjawab
pertanyaan karena takut salah dan malu. Tidak jarang juga rasa menyesal hadir,
karena ternyata apa yang seharusnya saya utarakan adalah hal yang benar, namun
urung disampaikan karena malu dan takut yang berkecamuk.
Ya.
Hal itu yang saya ingat mengenai persiapan presentasi saya semasa kuliah. Mengingat
dampak yang bagus dari metode itu, setelah menjadi dosenpun, metode ini juga
menjadi metode yang favorit untuk diaplikasikan.
Diawali
dengan meminta mahasiswa membaca 5 ayat Alquran di awal perkuliahan.
Kemudian memberikan soal kuis terkait materi yang akan dipelajari. Tentu saja pada awal
perkuliahan sudah disepakati bahwa setiap awal pertemuan akan diberikan kuis.
Selanjutnya
dosen bertindak sebagai moderator dan mengarahkan presentasi dan diskusi. Selama
presentasipun, saya sesekali bertanya dan meluruskan apa yang disampaikan oleh
penyaji agar pendengar tidak mendapatkan pemahaman yang salah. Setelah penyaji selesai
presentasi, diberikan kesempatan kepada audiens untuk bertanya atau mengoreksi
apa yang sudah mereka dengar. Kemudian saya akan menengahi atau meluruskan
pemahaman yang kurang tepat atau penjelasan yang kurang lengkap. Dalam
menjelaskan materi, saya berikan soal-soal yang memancing pengtahuan lama
mereka. Kemudian dengan perlahan mulai memaparkan ini itu dan bertanya berkali
kali “Apa ada yang tidak mengerti?” untuk memastikan bahwa semua sudah satu
pemahaman dengan saya. Itulah kondisi normal yang pernah terjadi dan saya
harapkan terjadi pada setiap mata kuliah yang saya ampu. Namun sayangnya, hal
tersebut tidak selalu terjadi.
Pengalaman
yang saya miliki semasa mempersiapkan presentasi ketika masih menjadi mahasiwa
calon sarjana, sangat berbeda nyata dengan apa yang saya lihat sekarang ketika
telah menjadi dosen.
Mahasiswa
sekarang gagal paham akan kegunaan teknologi. Mereka bergantung pada teknologi.
Menuhankan teknologi. Sehingga merasa ‘mati’ bila tidak ada sentuhan teknologi.
Miris
rasanya melihat mahasiswa yang seharusnya menjadi penyaji dalam sebuah diskusi,
malah hanya menjadi pembaca slide. Terpaku pada slide. Membaca kata demi kata
yang berderet rapat dalam slidenya. Membelakangi teman-teman sekelas yang
seharusnya menjadi audiensnya. Selesai membaca slide yang satu, tanpa
pengulangan, tanpa penegasan, dengan nada datar dan tanpa ekspresi, iapun akan
melanjutkan ke slide berikutnya.
Sering
saya coba bertanya tentang apa yang telah dipresentasikan semenit sebelumnya.
Dan benar saja. Ia sama sekali tidak ingat apa yang baru saja dibacakan. Sama
sekali tidak tahu apa yang baru saja dipresentasikan. Dan sudah pasti tidak
akan mampu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh teman-teman dikelasnya.
Mereka
hanya mencuri slide yang ada pada google. Menambahkan beberap slide yang mereka
rasa perlu. Bahkan ada yang hanya mengkopi kalimat-kalimat yang ada pada blog
orang lain tanpa memahami apa yang dikopi. Sehingga jika ada yang bertanya,
mereka akan terlihat sangat bingung. Karena mereka hanya mengcopaste tanpa
memahami.
Tidak
hanya itu, slide yang harusnya hanya sebagai “guide” dalam presentasi, berubah
seperti layar besar yang penuh tulisan. Miskin gambar. Kurang skema. Minus
grafik. Tanpa video. Monoton. Hambar. Tidak informatif. Padahal ada begitu
banyak gambar berserakan di internet yang dapat digunakan sebagai alat bantu
untuk menjelaskan apa yang ingin disampaikan. Ada begitu banyak bagan, grafik
atau skema. Ada jutaan video yang bisa digunakan sebagai bahan tayang.
Bahkan
pernah saya lihat kelompok penyaji yang menggigil ketika presentasi hanya
karena listrik padam sepuluh menit setelah presentasi dimulai. Mereka pucat
pasi dan gemetar. Terlebih begitu saya meminta mereka menjelaskan apa yang
mereka pahami tanpa harus melihat contekan yang telah mereka rampungkan.
Ada
lagi tipikal mahasiswa yang tidak hadir ketika ia harus presentasi, entahkah
dengan alasan sakit, pulang kampung atau alasan lain. Disaat teman
sekelompoknya komat kamit di depan kelas untuk “membaca” dan mencoba menjawab
pertanyaan teman-teman sekelas, dia memilih tidak hadir dan mengabarkan melalui
SMS. Untuk kasus yang seperti itu, tentu saja saya punya cara untuk
mengatasinya. Saya tempatkan ia di kelompok lain yang akan presentasi pada
pertemuan selanjutnya. Semua mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan saya
harus mendapat kesempatan yang sama bukan? No excuse.
Ketika
mengajar, beberapa kali saya minta mereka untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasan
yang salah dalam belajar. Perlahan mulai memperbaiki cara belajar. Mulai
membiasakan belajar. Mulai bertanggungjawab dengan tugas presentasi. Terlebih
jika mereka calon guru. Yang harus mampu menguasai kelas. Yang harus mampu untuk
membuat orang lain mengerti dengan apa yang mereka presentasikan. Tidak perlu
buru-buru. Ingat saja bagaimana cara guru-guru SD kita dulu menjelaskan
pelajaran. Bukankah mereka juga tidak menggunakan teknologi apapun? Hanya
bermodalkan kapur dan penghapus papan.
Mengertikah
kita dengan yang mereka ajarkan?
Pahamkah
kita dengan apa yang mereka sampaikan?
Ya! Kita mengerti. Kita Paham. Kenapa?
Karena
mereka paham apa yang mereka sampaikan.
Karena
mereka mengerti apa yang mereka ajarkan.
Bagaimana
mungkin kita bisa membuat orang lain mengerti dengan apa yang kita sampaikan
jika kita tidak mengerti dengan apa yang kita bicarakan. Jika kita hanya
membaca slide. Itu mustahil.
Sudahilan
presentasi komat kamit itu.
Cobalah
pahami apa yang akan dipresentasikan. Cobalah belajar lebih banyak. Tidak apa
jika masih salah. Tidak apa jika masih ada yang keliru. Namanya juga masih
belajar. Dari sanalah kita tahu mana yang benar.
Seriuslah
belajar.
Sungguh-sungguhlah
kuliah.
Masa
depanmu kau yang menentukan.
Perbaikilah
kebiasaan yang salah.
Mulailah
berubah.
Jangan
malu untuk mulai rajin belajar.
Temukan
teman-teman yang baik, yang dapat membawa pengaruh positif. Yang dapat diajak
belajar bersama-sama.
Kalian
mahasiswa, pelajar, tugas kalian adalah belajar dengan baik. Maka buktikanlah
bahwa kalian memang mahasiswa yang bertanggungjawab akan tugas kalian.
Selamat
berproses mahasiswaku!
#ceritadosen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar