Selasa, 24 November 2015

Kelas Inspirasi (Part 5) How It Comes To…

Ada berbagai macam perasaan yang berkecamuk menjelang dan setelah mulai mengajar di SDN Rumpet tersebut. Kecewa teramat sangat pada inkonsistensi teman-teman yang notabene sudah dewasa dan pada awalnya bersedia menjadi relawan, malah membatalkan kesepakatan tersebut pada hari H. Bukankah itu tindakan pengecut?

Jika diutamakan alasan, semua orang punya alasan untuk membatalkan keikutsertaannya. Jika semua relawan mau, mereka semua bisa mengeluarkan berbagai macam alasan. Begitupun saya, yang seharusnya hari Kamis itu mengajar mata kuliah biologi umum di prodi kimia. Bukanah itu juga sebuah alasan?  Namun ini bukan masalah ada atau tidaknya alasan untuk membatalkan. Disini ada masalah inkonsistensi. Ketidakseriusan.
Tidak pernahkah terpikir bahwa ada anak-anak yang sudah tahu tentang rencana kedatangan relawan ke sekolah mereka, yang berharap akan bertemu beberapa orang baru dan menceritakan pekerjaan mereka, yang akan menghibur mereka untuk sesaat. Tidakkah terpikir akan banyak yang dikecewakan?

Rasa syukurpun menggelayuti tubuh saya sejak pertama kali berbincang dengan guru-guru di sekolah tersebut. Memang benar bahwa saya harus lebih banyak lagi bersyukur. Lebih sering melihat ke bawah, agar lebih banyak menyadari bahwa posisi dan pekerjaan saya jauh lebih baik dibanding guru-guru di SD tersebut.

Mereka nyaris tidak punya waktu istirahat. Dari pukul 7 hingga pukul 1 siang menghandle sendiri kelas tersebut. Mengajar semua mata pelajaran. Tentu sangat melelahkan.
Sementara saya hanya perlu masuk kelas ketika ada jam mengajar. Waktu yang tersisa dapat digunakan untuk mempersiapkan baha ajar, menulis, browsing atau membaca jurnal.
Tanggung jawab yang harus mereka emban juga sangat besar. Mereka harus mengajar dan mendidik anak-anak tersebut “sendirian”. Tanpa pertolongan dari orang tua siswa di rumah.
Bukan tanpa alasan. Anak-anak yang bersekolah di SD tersebut merupakan anak-anak yang berasal dari keluarga yang berpendidikan rendah dan kurang mampu. Orang tua mereka hanya tamatan SD. Pekerjaan merekapun tak jauh-jauh dari petani atau pedagang kecil. Pendek kata, mereka tidak begitu paham pentingnya pendidikan bagi anak. Bagi mereka, sekolah lah tempat mendidik anak. Sekolahlah yang memiliki tanggungjawab untuk mengajar anak mereka. Sehingga mereka tidak perlu terlibat dengan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan anak-anak mereka.

Orang tua siswa tidak pernah datang jika diundang rapat ke sekolah. Mereka tidak akan hadir jika pihak sekolah meminta mereka berdiskusi tentang pengasuhan anak atau pengontrolan kebiasan belajar anak. Mereka hanya akan hadir di sekolah tersebut jika anak mereka bertengkar dengan temannya. Bukan untuk mendamaikan atau menasehati anak mereka yang terlibat perkelahian, namun untuk memukuli anak mereka di hadapan guru dan siswa lain, dengan tujuan agar si anak tersebut jera.
Bahkan salah seorang guru sempat berkata,”Mereka baru akan datang ke sekolah kalau uang bantuan pendidikan untuk anaknya cair. Bahkan kakek nenek mereka yang sudah mau meninggalpun ikut hadir mengambil uang tersebut”.
Tentu saja sang guru menyampaikan hal tersebut atas dasar kekecewaan yang mendalam kepada orang tua siswa yang hanya menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak mereka kepada sekolah. Bahkan uang yang diperoleh oleh orang tua siswa sebagai bentuk bantuan pemerintah pada anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu, agar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi keperluan sekolah sang anak justru digunakan untuk membeli baju si ibu atau beras.

Ada rasa penat dan lelah yang tergambar dari raut wajah guru-guru SD tersebut. Ada rasa terima kasih yang mereka selipkan diantara perbincangan kami. Setidaknya untuk sehari saja, mereka dapat rehat sejenak dan membiarkan anak-anak yang biasa mereka ajar dihibur oleh guru-guru inspirasi mereka.

Kekhawatiran pun tak kalah ingin muncul di wajah keriput guru-guru yang sudah bertahun tahun mengabdikan diri mereka untuk pendidikan.
“Rasanya kami akan percuma mengajar mereka. Karena setelah tamat SD mereka tidak akan menyambung sekolah lagi. Mereka akan nganggur dua tahun lalu menikah. Bahkan orang-orang tua mereka dulunya semua murid saya”. Begitu kata salah seornag guru yang sudah 26 tahun mengajar di SD tersebut.

Bukankah ini sesuatu yang sangat memilukan. Disaat anak-anak yang menamatkan SD berebut memilih masuk ke SMP favorit, anak-anak dari SDN Rumpet justru harus berhenti sekolah karena ketidakadaan biaya dan ketidakpedulian orang tua mereka, dan menikah pada usia yang masih sangat belia.
Bagaimana mungkin mereka dapat mendidik anak mereka dengan baik sementara mereka tidak memiliki pendidikan yang mumpuni?

Lelah yang saya rasakan selama melayani tunas-tunas Indonesia tersebut membawa saya kembali pada awal tahun 1996 hingga 2001ketika saya menjadi siswa sekolah dasar. Senang rasanya dapat menangkap dengan jelas memori masa itu sehingga dapat saya simpulkan bahwa saya bukanlah siswa yang nakal atau malas. Selama bersekolah, saya selalu menjadi siswa yang aktif, rajin, dominan dan tentu saja juara kelas. Saya bukanlah siswa yang suka membuat keributan atau kegaduhan di kelas. Bahkan dapat dibilang bahwa saya siswa kesayangan guru-guru SD saya.

Tidak dapat saya bayangkan apa yang akan saya rasakan setelah mengajar di SDN Rumpet tersebut jika dulunya saya adalah siswa yang nakal dan malas. Mungkin saya akan langsung pulang ke Bukittinggi, mencari guru-guru saya ketika SD, menangis-nangis dan meminta maaf karena telah menjadi siswa yang malas dan nakal.
Karena sungguh, mengajar siswa sekolah dasar merupakan pekerjaan yang sangat berat untuk dilakukan. Membutuhkan kesabaran luar biasa dan suara ekstra.
Anda tidak mungkin membentak mereka jika mereka ribut. Anda tidak mungkin memukul mereka jika mereka salah. Anda tidak mungkin mengusir mereka jika mereka berkelahi. Karena bukan begitu cara mendidik yang baik.

Rasa terima kasih dan penghargaan yang setingi-tingginya saya berikan kepada Bapak Ibu Guru dan teman teman yang mengabdikan diri mereka untuk mengajar di sekolah dasar. Saya tidak akan mampu seperti kalian. Jika negara ini tidak dapat memberikan penghargaan lebih atas kesabaran dan kekuatan kalian dalam menjalani tugas, semoga Allah SWT menggantinya dengan pahala yang tak terkira.
Pekerjaan yang kita pilih insya allah sudah tepat. Hanya tinggal mewarnainya dengan niat ikhlas dan basmalah setiap memulai pekerjaan tersebut.

Entahlah siswa siswi SDN Rumpet tersebut terinspirasi atau tidak dengan kedatangan kami kesana. Butuh waktu bertahun tahun dulu untuk membuktikan hal tersebut. Berpengaruh atau tidaknya kunjungan sehari tim Kelas Inspirasi tersebut hanya akan terlihat nanti. Ketika mereka telah menamatkan studi di SDN Rumpet. Namun yang pasti, saya merasa bahwa sayalah yang terinspirasi oleh mereka. Oleh kesabaran guru-guru SD tersebut. Oleh kondisi sekolah tersebut.
Bahwa terkadang kita lupa bersyukur.
Bahwa terkadang kita lupa melihat ke sekitar kita.
Betapa banyak orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Betapa banyak mereka yang bahkan tidak punya kesempatan untuk bermimpi.

Mengajar mereka membuat saya mensyukuri apa yang Allah berikan kepada saya.
Keluarga saya tidak sempurna. Bukan pula dari keluarga kaya yang bergelimang harta.
Tapi Allah memberikan kesempatan kepada saya untuk dididik dengan kasih sayang oleh nenek sejak umur 2 tahun hingga beliau meninggal dunia ketika saya berumur 8 tahun. Nenek yang mengajarkan saya untuk menjadi anak yang baik. Untuk selalu menolong orang-orang di sekitar saya. Untuk menyenangi belajar. Untuk selalu datang ke sekolah dan menjadi yang terbaik.
Ya! Saya tidak akan pernah lupa masa –masa kecil saya yang sangat menyenangkan itu. Masa dimana kecintaan saya terhadap belajar mulai terbentuk. Masa dimana beliau mengajarkan saya bahwa saya harus mengejar cita-cita saya.


Mengajar mereka membuat saya sadar, bahwa dengan bekerja pada bidang pendidikan belumlah cukup sebagai bukti bahwa saya peduli pada pendidikan di negara ini.
Saya harus terlibat lebih.
Berbuat lebih.
Bukan hanya karena ada uang yang didapat setelah mengajar.
Tapi karena keinginan untuk turun tangan dan melukis harapan untuk anak-anak Indonesia yang terabaikan dan kurang beruntung.

Mari berbuat lebih banyak teman!

Sampai Jumpa pada Kelas Inspirasi Tahun Depan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar