Jumat, 20 November 2015

Lelaki Penggosip (Part 2)

Jika tak sanggup bertanggungjawab untuk apa yang dikatakan. Tidak usah mengumbar-ngumbar perkataan.
Jika ingin mengatakan hal buruk tentang orang lain, maka Anda juga harus siap menanggung resiko dari perbuatan Anda tersebut.

Rasanya itu sudah harus diketahui semua orang. Tidak perlu harus sekolah tinggi-tinggi dulu untuk menyadari itu.

Seorang lelaki penggosip bersama dengan teman-temannya pernah menjadikan sebuah berita bohong sebagai bahan pembicaraan. Merasa senang sepertinya mengada-adakan hal-hal yang tidak ada. Tanpa peduli apakah hal tersebut baik atau tidak. Tanpa peduli apakah hal tersebut akan menyakiti perasaan orang yang dibicarakan atau tidak.
Mereka menggosipkan bahwa salah seorang rekan kerja perempuannya ada sesuatu dengan karyawan yang sudah tua di tempat kerja mereka. Tertawa terbahak bahak menjadikan hal yang sebenarnya fitnah tersebut menjadi bahan guyonan mereka. Lupa bahwa bisa saja yang dibicarakan mendengar apa yang dibicarakan.
Dan benar.

Rekan kerja yang dibicarakan oleh lelaki penggosip tersebut mendengar.
Kesal. Kecewa. Geram. Merasa direndahkan. Bukankah mereka punya adik perempuan. Bukankah mereka punya kakak perempuan. Bukankah punya istri juga? Bagaimana bila hal tersebut dialami oleh perempuan-perempuan yang mereka sayangi. Tapi sayang, akal pendek mereka tidak sampai pada hal tersebut.

Sang rekan kerja mulai menghubungi satu persatu dari mereka hingga didapatlah sebuah titik terang. Benar pernah ada pembicaraan tersebut diantara lelaki penggosip dan teman-temannya. Hanya sekali.
Dan tentu saja. Tak butuh berkali-kali bicara untuk menyakiti orang lain dengan kata-kata. Hanya saja. Lagi-lagi buat mereka itu bukanlah hal yang harus dipermasalahkan. Hanya sebatas guyon yang tanpa mereka sadari menyakiti perasaan orang lain.

Yang lain mencoba mengklarifikasi, bahkan meminta maaf telah berbuat seperti itu. Namun, apa yang dilakukan si lelaki penggosip ketika sang rekan kerja mencoba mengklarifikasi dengan nada kesal?
Tak terima. Marah. Malah membela diri mati-matian dan menyudutkan sang rekan kerja. Yang lebih parah, lelaki penggosip tersebut malah memfloorkan masalah tersebut ke sosial media. Langkah cerdas.
Mengelak.
Membantah.
Dan berbalik menuduh sang rekan kerja tidak dewasa karena mempermasalahkan hal tersebut.

Waktu berlalu. Tahun berganti. Sang rekan kerja yang kecewa memilih mengabaikan lelaki penggosip dan menghapusnya dari daftar orang-orang yang ada di sekitarnya. Dia memilih mengabaikan lelaki penggosip tersebut. Menganggap tidak ada.
Tidak ada merasa bersalah untuk yang dilakukan. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada itikad baik. Tipikal orang seperti itu sudah pasti bukan orang yang baik untuk dijadikan teman.


Namun, hal berbeda justru dilakukan oleh si lelaki penggosip.
Dalam diam, dia malah terus membenci dan menebar benci. Menceritakan ini itu kepada orang-orang baru yang berdatangan. Menunjukkan bukti bukti perdebatannya dengan sang rekan kerja yang terjadi belasan bulan sebelumnya.
Tentu saja dengan harapan bahwa orang orang baru tersebut sependapat dengannya.
Tentu saja dengan keinginan agar orang-orang baru yang notabene tidak ada masalah apapun dengan sang rekan kerja ini ikut-ikutan tidak menyukai sang rekan kerja.
Tentu saja dengan maksud agar orang-orang membenci rekan kerja tersebut seperti dirinya yang dipenuhi benci.
***
Saya tersenyum miris melihat kondisi tersebut. Sungguh lucu terkadang melihat tingkah dan sikap orang dalam menghadapi sesuatu. Berkoar-koar agar orang lain bersikap dewasa walau terkadang yang berlaku kekanak-kanakan justru dirinya sendiri.

Dihadapan orang lain berusaha menasehati agar tidak membuat kerusuhan dan menjadi “rahmatanlilalamin” tapi dirinya sendiri berlaku sebaliknya.

Bukankah hati kita terlalu kecil untuk terus dipupuk dengan kebencian. Jika belum mampu memaafkan orang lain. Jika belum sanggup meminta maaf, setidaknya jangan terus membenci atau menebar kebencian. Kasihanilah dirimu!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar