Jika tak sanggup bertanggungjawab
untuk apa yang dikatakan. Tidak usah mengumbar-ngumbar perkataan.
Jika ingin mengatakan hal
buruk tentang orang lain, maka Anda juga harus siap menanggung resiko dari
perbuatan Anda tersebut.
Rasanya itu sudah harus diketahui semua orang. Tidak perlu harus sekolah tinggi-tinggi dulu untuk menyadari itu.
Seorang
lelaki penggosip bersama dengan teman-temannya pernah menjadikan sebuah berita
bohong sebagai bahan pembicaraan. Merasa senang sepertinya mengada-adakan
hal-hal yang tidak ada. Tanpa peduli apakah hal tersebut baik atau tidak. Tanpa
peduli apakah hal tersebut akan menyakiti perasaan orang yang dibicarakan atau
tidak.
Mereka
menggosipkan bahwa salah seorang rekan kerja perempuannya ada sesuatu dengan
karyawan yang sudah tua di tempat kerja mereka. Tertawa terbahak bahak
menjadikan hal yang sebenarnya fitnah tersebut menjadi bahan guyonan mereka.
Lupa bahwa bisa saja yang dibicarakan mendengar apa yang dibicarakan.
Dan
benar.
Rekan
kerja yang dibicarakan oleh lelaki penggosip tersebut mendengar.
Kesal.
Kecewa. Geram. Merasa direndahkan. Bukankah mereka punya adik perempuan.
Bukankah mereka punya kakak perempuan. Bukankah punya istri juga? Bagaimana
bila hal tersebut dialami oleh perempuan-perempuan yang mereka sayangi. Tapi
sayang, akal pendek mereka tidak sampai pada hal tersebut.
Sang
rekan kerja mulai menghubungi satu persatu dari mereka hingga didapatlah sebuah
titik terang. Benar pernah ada pembicaraan tersebut diantara lelaki penggosip
dan teman-temannya. Hanya sekali.
Dan
tentu saja. Tak butuh berkali-kali bicara untuk menyakiti orang lain dengan
kata-kata. Hanya saja. Lagi-lagi buat mereka itu bukanlah hal yang harus
dipermasalahkan. Hanya sebatas guyon yang tanpa mereka sadari menyakiti
perasaan orang lain.
Yang
lain mencoba mengklarifikasi, bahkan meminta maaf telah berbuat seperti itu.
Namun, apa yang dilakukan si lelaki penggosip ketika sang rekan kerja mencoba
mengklarifikasi dengan nada kesal?
Tak
terima. Marah. Malah membela diri mati-matian dan menyudutkan sang rekan kerja.
Yang lebih parah, lelaki penggosip tersebut malah memfloorkan masalah tersebut
ke sosial media. Langkah cerdas.
Mengelak.
Membantah.
Dan
berbalik menuduh sang rekan kerja tidak dewasa karena mempermasalahkan hal
tersebut.
Waktu
berlalu. Tahun berganti. Sang rekan kerja yang kecewa memilih mengabaikan
lelaki penggosip dan menghapusnya dari daftar orang-orang yang ada di
sekitarnya. Dia memilih mengabaikan lelaki penggosip tersebut. Menganggap tidak
ada.
Tidak
ada merasa bersalah untuk yang dilakukan. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada
itikad baik. Tipikal orang seperti itu sudah pasti bukan orang yang baik untuk
dijadikan teman.
Namun,
hal berbeda justru dilakukan oleh si lelaki penggosip.
Dalam
diam, dia malah terus membenci dan menebar benci. Menceritakan ini itu kepada
orang-orang baru yang berdatangan. Menunjukkan bukti bukti perdebatannya dengan
sang rekan kerja yang terjadi belasan bulan sebelumnya.
Tentu
saja dengan harapan bahwa orang orang baru tersebut sependapat dengannya.
Tentu
saja dengan keinginan agar orang-orang baru yang notabene tidak ada masalah
apapun dengan sang rekan kerja ini ikut-ikutan tidak menyukai sang rekan kerja.
Tentu
saja dengan maksud agar orang-orang membenci rekan kerja tersebut seperti
dirinya yang dipenuhi benci.
***
Saya
tersenyum miris melihat kondisi tersebut. Sungguh lucu terkadang melihat
tingkah dan sikap orang dalam menghadapi sesuatu. Berkoar-koar agar orang lain
bersikap dewasa walau terkadang yang berlaku kekanak-kanakan justru dirinya
sendiri.
Dihadapan
orang lain berusaha menasehati agar tidak membuat kerusuhan dan menjadi “rahmatanlilalamin”
tapi dirinya sendiri berlaku sebaliknya.
Bukankah hati kita terlalu kecil untuk terus dipupuk dengan
kebencian. Jika belum mampu memaafkan orang lain. Jika belum sanggup meminta
maaf, setidaknya jangan terus membenci atau menebar kebencian. Kasihanilah
dirimu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar