Selasa, 03 November 2015

One Day One Post.



Butuh waktu 5 menit untuk berjalan dari tempat pemberhentian angkot hingga sampai ke gerbang sekolahku. Siapa yang tidak kenal sekolah itu. Sekolah model katanya. Sekolah favorit. Sekolah dengan kegiatan ekstrakurikuler terbanyak di kotaku. Dan kali ini, aku tak bisa hanya berjalan ala artis menuju gerbang sekolah. Aku harus berlari kencang agar sampai di sekolah tepat waktu. Pukul 07.13 pagi. Lagi-lagi nyaris terlambat. Hanya butuh keajaiban yang membuatku tidak dikurung lagi di luar gerbang kali ini, mengingat satpam yang menjaga gerbang sekolah terkadang terpaksa harus tegas pada kami. Walau sebenarnya laki-laki paruh baya itu sangat ramah dan bersahabat. Namun karena tuntutan pekerjaan, ia harus menutup gerbang pukul 07.15, walau tidak jarang juga, ia baru menutup gerbang sekitar 5 menit telat dari jadwal yang seharusnya.

“Pak!! Pak!! Stop!” Aku berusaha mencegah Pak Ismet menutup gerbang.
“Eh Ayu! Telat lagi Kamu! Cepat masuk!” Balas Pak Ismet sambil mengedip-ngedipkan mata seolah memberi kode bahwa apa yang dia katakana barusan tidak sungguh-sungguh. Aku tidak kaget bila tiba-tiba Pak Ismet bicara cukup tegas pagi ini, karena di belakangnya berdiri salah seorang wakil kepala sekolahku yang terkenal tegas dan pemarah.
Sambil terengah-engah aku berjalan cepat menuju kelasku yang berada di bagian paling belakang sekolah yang terkenal dengan lapangan hijaunya yang luas itu.
“Yu, dicariin Pak Edi ya!” Sapa salah seorang teman yang terlihat berdiri di luar dan celingak celinguk meliha ke dalam kelas.
“Waah! Bukannya Pak Edi masuk kelas Aku ya Mi?” Balasku sambil mengipas ngipas wajahku dengan buku. Letih karena berlari masih belum sirna.
“Nggaaak.. Lihat aja tuh! Kelas kalian dikasih tugas. Pak Edi lagi sibuk mengurus hasil tes IQ dan tes bakat kita minggu lalu. Kelas Aku tuh yang ada gurunya. Udah ya Yu! Aku masuk kelas dulu. Jangan lupa ke ruangan BK.” Jawab Mimi sambil berjalan menuju kelasnya yang berada tepat di sebelah kelasku.

“Assalamualaikum, Bapak! Bapak nyari Ayu?”. Aku mendongak dari depan pintu yang terdapat tulisan Bimbingan dan Konseling di atas daun pintunya.
“Waalaikum salam! Ayu.. masuk Nak!. Iya, Bapak ada perlu dengan Ayu. Silahkan duduk!” Balas beliau sembari tersenyum.
Pak Edi, beliau adalah salah seorang guru BK di sekolahku. Aku selalu suka pada guru yang tidak pernah lupa tersenyum itu. Rasanya menyenangkan saat bercerita dengan beliau. Apalagi mendengar pemapaaran beliau tentang fase remaja atau cara bergaul yang benar dengan lawan jenis. Sepertinya beliau tahu persis bagaimana cara masuk ke dunia kami, yang notabene masih sangat riskan dan rapuh. Terang saja, kala itu aku masih duduk di bangku SMA, kelas X. Masa peralihan dari siswi sekolah menengah pertama menjadi siswi di sekolah menengah atas. Jelas bahwa aku dan teman-teman membutuhkan banyak arahan baik hal-hal terkait pergaulan, sikap maupun hal-hal yang menurut orang tua kami terkesan tabu, pengetahuan dasar terkait seks. Beliau mampu memaparkan hal-hal yang awalnya menurut kami tidak pantas didengar menjadi sebuah pengetahuan yang sudah seharusnya kami ketahui. Pak Edi tidak hanya mengajar di kelas, beliau bahkan bersedia kapan saja disibukkan oleh curhatan siswa-siswinya ketika beliau sedang di ruangan BK. Akupun begitu. Bila jenuh belajar di kelas menghampiri, aku akan langsung menuju ruangan Pak Edi hanya untuk sekedar duduk dan bertanya ini itu yang tak begitu penting.

“Begini Yu, hasil tes IQ kemaren sudah keluar. Hasil test bakatnya juga sudah ada.” Jelas Pak Edi sambil membolak-balik beberapa lembar kertas.
“Waah! Sudah keluar ya Pak? Bagaimana hasil Ayu Pak?” Tanyaku dengan antusias.
Beliau menyodorkan lembaran hasil tes IQ dan tes bakat tersebut.
Kuamati lekat penilaian mengenai kemampuan diriku itu. Puas dengan apa yang kulihat. Meski kata orang IQ bagus tidak menjamin keberhasilan. Bagiku, mengetahui bahwa aku memiliki IQ diatas rata-rata tetap menjadi sesuatu yang menyenangkan. Something called genetic.
“Pak, ini maksudnya apa? Kok kemampuan verbal Ayu paling tinggi?” Tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Sejujurnya masih belum mengerti benar apa gunanya dan apa maksud dari angka-angka yang tertera pada kertas itu.
“Iya Yu, maksud Bapak memanggil Ayu adalah untuk menjelaskan mengenai hasil tes ini dan menawarkan sesuatu sama Ayu”. Beliaupun mengawali penjelasannya.

Pendek kata, menurut penjelasan beliau, dari semua kemampuan yang aku miliki, kemampuan berbahasa adalah kemampuan terbaik yang kupunya, dengan nilai 99 dibanding kemampun lain yang hanya berada pada kisaran 85 dan 90. Masih menurut beliau, kemampuan berbahasa disini merujuk kepada kemampuan bahasa dalam berbicara maupun dalam bahasa tulisan. Atas dasar tersebut, beliau mengarahkanku untuk masuk ke Jurusan Bahasa. Masih menurut beliau, hal yang sama ditawarkan kepada 9 orang dari seluruh siswa-siswi kelas X yang juga memiliki kemampuan verbal yang mumpuni. Jika 9 orang ini bersedia masuk ke Jurusan Bahasa, maka sekolahku akan memiliki 3 penjurusan yaitu IPA, IPS dan Bahasa.

Hari itu, apa yang kudengar bukan sesuatu yang menyenangkan buatku. “Masuk kelas bahasa? Akan jadi apa aku nanti?” Pertanyaan itu memenuhi otakku. Sempat kutanyakan kepada Pak Edi mengenai pilihan karier yang dapat kuambil jika aku melanjutkan studi di bidang bahasa. Entahlah, rasanya tidak ada yang menarik dari apa yang beliau jabarkan.
Aku senang dengan mata pelajaran biologi. Sejak SMP pun aku sering berdiskusi bahkan berdebat dengan guru biologiku. Bertanya ini itu segala macam yang ingin ku tahu tentang makhluk hidup. Sempat guru biologi di sekolah menengah pertama membawakan hasil print artikel yang ditemukannya diinternet hanya untuk menjawab pertanyaanku pada pertemuan sebelumnya. Pernah satu pertemuan dihabiskan hanya untuk berdiskusi mengenai proses tetes tebu untuk membuat penyedap atau membahas bayi tabung. Masih teringat jelas diotakku, ekspresi kesal teman-teman sekelas karena guru biologi hanya fokus untuk berdiskusi denganku.
Oh! Junior high time.

Apa yang kudengar dari Pak Edi tidak pernah kusampaikan di rumah. Kusimpan sendiri. Aku takut bila keluargaku tahu, mereka juga akan mengarahkanku membidangi bahasa. Padahal, aku ingin menjadi dokter atau mengajar.
Ya, sedari kecil cita-citaku  hanya dua. Menjadi dokter atau mengajar. Cita-cita standar anak-anak. Tidak banyak pilihan karier yang kutahu kala itu. Tapi semakin bertambah umurku, semakin mantap ingin mengajar. Berdiri di depan banyak orang dan bicara ini itu. Dari kecil pun aku sudah menjadi banci tampil. Senang kalau ada guru yang menyuruh tampil ke depan kelas. Entah untuk membacakan cerpen yang ditulis, atau untuk mendramatisasi puisi. Aku menikmati perasaan yang kuperoleh ketika aku berjalan ke depan kelas, semua mata tertuju padaku dan orang-orang yang duduk dalam ruangan itu hening, seolah menunggu aku untuk memulai bicara. Ya! Aku senang menjadi pusat perhatian. Menjadi seseorang yang diperhatikan. Menjadi orang yang didengarkan ketika berbicara.
Aku mencintai biologi. Maka kala itu yang terpikirkan olehku hanya masuk jurusan IPA. Bukan IPS apalagi Bahasa. Dan benar saja, sampai hari ini tak pernah kusampaikan apa yang diuraikan oleh Pak Edi padaku. Mungkin keluargaku baru akan mengetahui setelah membaca apa yang kutulis hari ini.
Hehehehe..

Aku baru ingat apa yang disampaikan Pak Edi tersebut semalam. Ketika aku menambahkan hal yang ingin kulakukan dalam Book of Mine milikku. Sebuah buku yang berisi dreamlist dan hal-hal yang ingin kuwujudkan dalam hidupku.
One Day One Post.
Itu yang kemaren kutambahkan dalam buku tersebut.

Dari dulu aku senang menulis, bahkan sejak masih duduk di sekolah dasar. Hampir setiap hari aku menulis di diary. Tulisan ini itu yang tak begitu penting. Apapun yang kurasa dan apapun yang ingin kulakukan. Hal tersebut berlanjut hingga kuliah. Meski hal itu harus kuhentikan karena aku menyadari bahwa semua diaryku dibaca oleh kakak dan abangku. Arrggh….

Tersimpan keinginan agar suatu hari bisa menerbitkan novel. Bisa menjadi penulis. Kubayangkan pasti akan menyenangkan bila tulisanku bisa dibaca oleh banyak orang. Ada begitu banyak tulisan yang sudah kubuat yang hanya menumpuk di laptopku. Baik itu cerpen, puisi maupun tips tips sederhana yang pernah kulakukan untuk mengatasi hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, aku belum memiliki kepercayaan diri yang cukup untuk mempostingnya. Sehingga sejak kemaren kumulai sebuah gerakan untuk diriku. One Day One Post.
Aku akan memulai dari awal lagi. Menulis setiap harinya dan mempostingnya pada blogku, talkingnirmala.blogspot.com. Pusi, tips, cerpen, review jurnal, curhatanku atau apapun itu. Bagus atau tidaknya tulisanku bukan hal yang harus kupikirkan sekarang. Bagiku ini adalah sebuah langkah awal untuk membiasakan menulis. Pada sebuah buku yang pernah kubaca dinyatakan bahwa untuk membentuk kebiasaan baru hanya dibutuhkan waktu 21 hari. Tujuh hari pertama adalah hari pengenalan terhadap kebiasaan baru, tujuh hari kedua merupakan hari latihan dan 7 hari berikutnya adalah hari pembiasaan.

Aku menyadari bahwa manusia dianugerahi begitu banyak bakat ketika ia dilahirkan. Ada yang berkembang dan ada yang tidak. Ada yang dikembangkan ada yang tidak. Semua itu pilihan. Aku masih belum tahu apakah aku akan menjadi penulis novel atau tidak (meski dipikiranku, yang kubayangkan, aku akan menghasilkan banyak karya nantinya) tapi yang pasti aku hanya ingin melakukan hal yang kugemari. Ya! Mengajar, memasak dan menulis merupakan hal-hal yang kusuka. Semacam relaksasi buatku. Meski melelahkan, namun ada kepuasan yang kuperoleh setelahnya.

Karena apa yang kita lakukan hari ini adalah hasil perbuatan kita di hari hari sebelumnya, maka kulakukan hal ini dari sekarang agar ada hal baik yang akan kupetik di hari nanti. Maka dengan resmi kumulai gerakan One Day One Post.

Jangan bosan ya kalau setiap harinya di timeline kalian ada postingan blogku.
Kalau bagus tidak perlu dipuji.
Kalau masih belum bagus tolong jangan dicaci.

Happy writing people!!!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar