Butuh waktu 5 menit untuk berjalan dari tempat
pemberhentian angkot hingga sampai ke gerbang sekolahku. Siapa yang tidak kenal
sekolah itu. Sekolah model katanya. Sekolah favorit. Sekolah dengan kegiatan
ekstrakurikuler terbanyak di kotaku. Dan kali ini, aku tak bisa hanya
berjalan ala artis menuju gerbang sekolah. Aku harus berlari kencang agar
sampai di sekolah tepat waktu. Pukul 07.13 pagi. Lagi-lagi nyaris terlambat.
Hanya butuh keajaiban yang membuatku tidak dikurung lagi di luar gerbang kali
ini, mengingat satpam yang menjaga gerbang sekolah terkadang terpaksa harus
tegas pada kami. Walau sebenarnya laki-laki paruh baya itu sangat ramah dan
bersahabat. Namun karena tuntutan pekerjaan, ia harus menutup gerbang pukul
07.15, walau tidak jarang juga, ia baru menutup gerbang sekitar 5 menit telat
dari jadwal yang seharusnya.
“Pak!! Pak!! Stop!” Aku berusaha mencegah Pak
Ismet menutup gerbang.
“Eh Ayu! Telat lagi Kamu! Cepat masuk!” Balas Pak
Ismet sambil mengedip-ngedipkan mata seolah memberi kode bahwa apa yang dia katakana
barusan tidak sungguh-sungguh. Aku tidak kaget bila tiba-tiba Pak Ismet bicara
cukup tegas pagi ini, karena di belakangnya berdiri salah seorang wakil kepala
sekolahku yang terkenal tegas dan pemarah.
Sambil terengah-engah aku berjalan cepat menuju kelasku
yang berada di bagian paling belakang sekolah yang terkenal dengan lapangan
hijaunya yang luas itu.
“Yu, dicariin Pak Edi ya!” Sapa salah seorang
teman yang terlihat berdiri di luar dan celingak celinguk meliha ke dalam
kelas.
“Waah! Bukannya Pak Edi masuk kelas Aku ya Mi?”
Balasku sambil mengipas ngipas wajahku dengan buku. Letih karena berlari masih
belum sirna.
“Nggaaak.. Lihat aja tuh! Kelas kalian dikasih
tugas. Pak Edi lagi sibuk mengurus hasil tes IQ dan tes bakat kita minggu lalu.
Kelas Aku tuh yang ada gurunya. Udah ya Yu! Aku masuk kelas dulu. Jangan lupa
ke ruangan BK.” Jawab Mimi sambil berjalan menuju kelasnya yang berada tepat di
sebelah kelasku.
“Assalamualaikum, Bapak! Bapak nyari Ayu?”. Aku
mendongak dari depan pintu yang terdapat tulisan Bimbingan dan Konseling di
atas daun pintunya.
“Waalaikum salam! Ayu.. masuk Nak!. Iya, Bapak ada
perlu dengan Ayu. Silahkan duduk!” Balas beliau sembari tersenyum.
Pak Edi, beliau adalah salah seorang guru BK di
sekolahku. Aku selalu suka pada guru yang tidak pernah lupa tersenyum itu.
Rasanya menyenangkan saat bercerita dengan beliau. Apalagi mendengar pemapaaran
beliau tentang fase remaja atau cara bergaul yang benar dengan lawan jenis.
Sepertinya beliau tahu persis bagaimana cara masuk ke dunia kami, yang notabene
masih sangat riskan dan rapuh. Terang saja, kala itu aku masih duduk di bangku
SMA, kelas X. Masa peralihan dari siswi sekolah menengah pertama menjadi siswi
di sekolah menengah atas. Jelas bahwa aku dan teman-teman membutuhkan banyak
arahan baik hal-hal terkait pergaulan, sikap maupun hal-hal yang menurut orang
tua kami terkesan tabu, pengetahuan dasar terkait seks. Beliau mampu memaparkan
hal-hal yang awalnya menurut kami tidak pantas didengar menjadi sebuah pengetahuan
yang sudah seharusnya kami ketahui. Pak Edi tidak hanya mengajar di kelas,
beliau bahkan bersedia kapan saja disibukkan oleh curhatan siswa-siswinya
ketika beliau sedang di ruangan BK. Akupun begitu. Bila jenuh belajar di kelas
menghampiri, aku akan langsung menuju ruangan Pak Edi hanya untuk sekedar duduk
dan bertanya ini itu yang tak begitu penting.
“Begini Yu, hasil tes IQ kemaren sudah keluar. Hasil
test bakatnya juga sudah ada.” Jelas Pak Edi sambil membolak-balik beberapa
lembar kertas.
“Waah! Sudah keluar ya Pak? Bagaimana hasil Ayu
Pak?” Tanyaku dengan antusias.
Beliau menyodorkan lembaran hasil tes IQ dan tes
bakat tersebut.
Kuamati lekat penilaian mengenai kemampuan diriku
itu. Puas dengan apa yang kulihat. Meski kata orang IQ bagus tidak menjamin
keberhasilan. Bagiku, mengetahui bahwa aku memiliki IQ diatas rata-rata tetap menjadi
sesuatu yang menyenangkan. Something called genetic.
“Pak, ini maksudnya apa? Kok kemampuan verbal Ayu
paling tinggi?” Tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Sejujurnya masih belum
mengerti benar apa gunanya dan apa maksud dari angka-angka yang tertera pada
kertas itu.
“Iya Yu, maksud Bapak memanggil Ayu adalah untuk
menjelaskan mengenai hasil tes ini dan menawarkan sesuatu sama Ayu”. Beliaupun
mengawali penjelasannya.
Pendek kata, menurut penjelasan beliau, dari semua
kemampuan yang aku miliki, kemampuan berbahasa adalah kemampuan terbaik yang
kupunya, dengan nilai 99 dibanding kemampun lain yang hanya berada pada kisaran
85 dan 90. Masih menurut beliau, kemampuan berbahasa disini merujuk kepada
kemampuan bahasa dalam berbicara maupun dalam bahasa tulisan. Atas dasar
tersebut, beliau mengarahkanku untuk masuk ke Jurusan Bahasa. Masih menurut
beliau, hal yang sama ditawarkan kepada 9 orang dari seluruh siswa-siswi kelas
X yang juga memiliki kemampuan verbal yang mumpuni. Jika 9 orang ini bersedia
masuk ke Jurusan Bahasa, maka sekolahku akan memiliki 3 penjurusan yaitu IPA,
IPS dan Bahasa.
Hari itu, apa yang kudengar bukan sesuatu yang
menyenangkan buatku. “Masuk kelas bahasa? Akan jadi apa aku nanti?” Pertanyaan
itu memenuhi otakku. Sempat kutanyakan kepada Pak Edi mengenai pilihan karier
yang dapat kuambil jika aku melanjutkan studi di bidang bahasa. Entahlah,
rasanya tidak ada yang menarik dari apa yang beliau jabarkan.
Aku senang dengan mata pelajaran biologi. Sejak
SMP pun aku sering berdiskusi bahkan berdebat dengan guru biologiku. Bertanya
ini itu segala macam yang ingin ku tahu tentang makhluk hidup. Sempat guru
biologi di sekolah menengah pertama membawakan hasil print artikel yang
ditemukannya diinternet hanya untuk menjawab pertanyaanku pada pertemuan
sebelumnya. Pernah satu pertemuan dihabiskan hanya untuk berdiskusi mengenai
proses tetes tebu untuk membuat penyedap atau membahas bayi tabung. Masih
teringat jelas diotakku, ekspresi kesal teman-teman sekelas karena guru biologi
hanya fokus untuk berdiskusi denganku.
Oh! Junior high time.
Apa yang kudengar dari Pak Edi tidak pernah
kusampaikan di rumah. Kusimpan sendiri. Aku takut bila keluargaku tahu, mereka
juga akan mengarahkanku membidangi bahasa. Padahal, aku ingin menjadi dokter
atau mengajar.
Ya, sedari kecil cita-citaku hanya dua. Menjadi dokter atau mengajar.
Cita-cita standar anak-anak. Tidak banyak pilihan karier yang kutahu kala itu.
Tapi semakin bertambah umurku, semakin mantap ingin mengajar. Berdiri di depan
banyak orang dan bicara ini itu. Dari kecil pun aku sudah menjadi banci tampil.
Senang kalau ada guru yang menyuruh tampil ke depan kelas. Entah untuk
membacakan cerpen yang ditulis, atau untuk mendramatisasi puisi. Aku menikmati
perasaan yang kuperoleh ketika aku berjalan ke depan kelas, semua mata tertuju
padaku dan orang-orang yang duduk dalam ruangan itu hening, seolah menunggu aku
untuk memulai bicara. Ya! Aku senang menjadi pusat perhatian. Menjadi seseorang
yang diperhatikan. Menjadi orang yang didengarkan ketika berbicara.
Aku mencintai biologi. Maka kala itu yang
terpikirkan olehku hanya masuk jurusan IPA. Bukan IPS apalagi Bahasa. Dan benar
saja, sampai hari ini tak pernah kusampaikan apa yang diuraikan oleh Pak Edi
padaku. Mungkin keluargaku baru akan mengetahui setelah membaca apa yang
kutulis hari ini.
Hehehehe..
Aku baru ingat apa yang disampaikan Pak Edi
tersebut semalam. Ketika aku menambahkan hal yang ingin kulakukan dalam Book of
Mine milikku. Sebuah buku yang berisi dreamlist dan hal-hal yang ingin
kuwujudkan dalam hidupku.
One Day One Post.
Itu yang kemaren kutambahkan dalam buku tersebut.
Dari dulu aku senang menulis, bahkan sejak masih
duduk di sekolah dasar. Hampir setiap hari aku menulis di diary. Tulisan ini
itu yang tak begitu penting. Apapun yang kurasa dan apapun yang ingin
kulakukan. Hal tersebut berlanjut hingga kuliah. Meski hal itu harus kuhentikan
karena aku menyadari bahwa semua diaryku dibaca oleh kakak dan abangku. Arrggh….
Tersimpan keinginan agar suatu hari bisa
menerbitkan novel. Bisa menjadi penulis. Kubayangkan pasti akan menyenangkan
bila tulisanku bisa dibaca oleh banyak orang. Ada begitu banyak tulisan yang
sudah kubuat yang hanya menumpuk di laptopku. Baik itu cerpen, puisi maupun
tips tips sederhana yang pernah kulakukan untuk mengatasi hal-hal kecil dalam
kehidupan sehari-hari.
Namun, aku belum memiliki kepercayaan diri yang
cukup untuk mempostingnya. Sehingga sejak kemaren kumulai sebuah gerakan untuk
diriku. One Day One Post.
Aku akan memulai dari awal lagi. Menulis setiap
harinya dan mempostingnya pada blogku, talkingnirmala.blogspot.com. Pusi, tips,
cerpen, review jurnal, curhatanku atau apapun itu. Bagus atau tidaknya
tulisanku bukan hal yang harus kupikirkan sekarang. Bagiku ini adalah sebuah
langkah awal untuk membiasakan menulis. Pada sebuah buku yang pernah kubaca
dinyatakan bahwa untuk membentuk kebiasaan baru hanya dibutuhkan waktu 21 hari.
Tujuh hari pertama adalah hari pengenalan terhadap kebiasaan baru, tujuh hari
kedua merupakan hari latihan dan 7 hari berikutnya adalah hari pembiasaan.
Aku menyadari bahwa manusia dianugerahi begitu
banyak bakat ketika ia dilahirkan. Ada yang berkembang dan ada yang tidak. Ada
yang dikembangkan ada yang tidak. Semua itu pilihan. Aku masih belum tahu
apakah aku akan menjadi penulis novel atau tidak (meski dipikiranku, yang
kubayangkan, aku akan menghasilkan banyak karya nantinya) tapi yang pasti aku
hanya ingin melakukan hal yang kugemari. Ya! Mengajar, memasak dan menulis
merupakan hal-hal yang kusuka. Semacam relaksasi buatku. Meski melelahkan,
namun ada kepuasan yang kuperoleh setelahnya.
Karena apa yang kita lakukan hari ini adalah hasil
perbuatan kita di hari hari sebelumnya, maka kulakukan hal ini dari sekarang
agar ada hal baik yang akan kupetik di hari nanti. Maka dengan resmi kumulai
gerakan One Day One Post.
Jangan bosan ya kalau setiap harinya di timeline
kalian ada postingan blogku.
Kalau bagus tidak perlu dipuji.
Kalau masih belum bagus tolong jangan dicaci.
Happy writing people!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar