Teringat
pertama kali menginjakkan kaki di sebuah lapangan luas dengan palang tinggi
bertuliskan Sekolah Dasar di sebelah
kiri lapangan tersebut. Terasa lapangan tersebut begitu luas hingga puluhan
anak bisa berlarian kesana kemari tanpa berbenturan. Perlahan saya lepaskan
genggaman tangan Nenek yang sedari tadi berusaha memastikan agar saya merasa
nyaman dan baik-baik saja. Rasanya tak sabar berlarian di lapangan tersebut.
Tak bisa rasanya bersabar beberap menit lagi untuk segera masuk kelas dan
belajar. Ya! Hari itu adalah hari pertama saya menjadi siswa SD. Saya sangat
bersemangat.
Duduk
di kursi paling depan. Mengangkat tangan setiap ada pertanyaan. Dengan mata
berbinar tak henti memandangi guru yang perlahan-lahan mengukir sebuah huruf
pada papan tulis kayu tersebut. Saya mulai belajar menuliskan kata. Menjumlah.
Saya mulai memberanikan diri berdiri di depan kelas. Rasa senang yang membuncah
mengisi relung hati saya ketika kertas ulangan dibagikan. Hampir setiap ulangan
dan ujian saya mendapat nilai terbaik. Ya, selama menjadi siswa Sekolah Dasar
saya selalu menjadi juara kelas. Tidak jarang menjadi juara umum di sekolah
tersebut. Rasanya membanggakan ketika nama saya dipanggil dan berdiri paling
depan. Selangkah lebih maju dari barisan teman-teman lain yang juga menjadi
juara di kelas mereka masing-masing.
Dengan
langkah kecil yang bergulir dengan cepat, saya menghampiri nenek dan
menunjukkan angka 1 yang tertera di kolom peringkat. Tentu saja saya berharap
mendapat hadiah untuk itu. Ya! Sebungkus sate khas Padang adalah hadiah terbaik
menurut saya kala itu. Gembira tak terkira begitu melihat nenek masuk rumah
sepulang dari pasar sambil membawa kantong kresek berisi sebungkus sate.
Sejak
umur dua tahun, Neneklah yang mengasuh dan membesarkan saya. Mendidik dan
mengajarkan saya segala sesuatunya dengan penuh cinta. Nenek mengajarkan saya
dengan penuh kasih sayang. Nenek tahu betul bagaimana caranya membuat saya
senang belajar. Sehingga belajar sepulang sekolah adalah hal yang saya tunggu.
Begitupun membaca buku pelajaran sesudah sholat magrib.
Tak
pernah bisa lupa, rutinitas sepulang sekolah setiap harinya. Rasa lelah yang
menggelayuti tubuh saya setelah berjalan beberapa kilo dari sekolah hingga
rumah perlahan hilang begitu melihat Nenek berdiri di depan pintu dan menyambut
saya.
“Tadi
dapat nilai berapa Ayu?” tanyanya dengan lembut.
“Ayu
dapat 10 Mak. Cukup kan Mak untuk membeli sate?”, tanyaku polos. Saya memanggil
Nenek dengan sebutan Amak. (Panggilan
untuk Ibu dalam bahasa Minang).
Dengan
sigap beliau akan mengambilkan baju ganti dan menyiapkan makan siang untukku.
Hampir setiap harinya beliau menyuapiku. Karena aku selalu makan sambil
belajar. Sehingga begitu selesai makan siang, akupun selesai mengerjakan
pekerjaan rumah. Masa kecilku bersama Nenek yang sangat berkesan bagiku. Beliau
membiasakanku belajar dengan cara yang menyenangkan. Beliau selalu tahu
bagaimana cara mengapresiasi pencapaianku.
Teman-teman!
Hampir
sebagian besar waktu dalam hidup kita, dihabiskan untuk sekolah. Dimulai dari
TK, SD, SMP, SMA, hingga kuliah. Kita
belajar tak henti untuk mendapat selembar ijazah. Dengan ijazah itu kita
bekerja. Mencari penghidupan. Mendapat pemasukan. Berkarya.
Banyak
yang bekerja pada perusahaan yang sesuai dengan bidang keahlian yang mereka
geluti ketika kuliah. Tidak sedikit bekerja pada instansi yang bidangnya
berbeda nyata dengan bidang keahlian mereka. Banyak juga yang memilih menjadi
ibu rumah tangga. Tidak jarang juga memilih jalan menjadi pengusaha. Semua
pilihan tersebut baik. Karena pada dasarnya kita memilih pekerjaan yang menurut
kita baik dan cocok untuk kita.
Tapi,
satu hal yang terkadang kita lupa dan juga menjadi hal yang saya sesali adalah
membiarkan ilmu saya lenyap begitu saja. Saya membiarkan ilmu saya perlahan
hilang. Saya membiarkan pengetahuan yang telah saya peroleh sebelumnya berlalu
begitu saja. Bukan sesuatu yang disengaja. Terkadang semua itu diluar kuasa
kita. Karena kita manusia biasa dengan kemampuan mengingat yang juga terbatas.
Untuk
yang masih duduk di bangku SMP, apakah kalian masih ingat perbedaan stalaktit
dan stalaknit? Atau apakah kalian masih ingat cirri-ciri batuan sedimen? Semua
itu kalian pelajari di sekolah dasar.
Bagi
yang masih duduk di bangku SMA, apakah kalian masih ingat letak geografis dan
batas-batas Indonesia yang dipelajari ketika SMP?
Bagi
yang sedang kuliah, masih ingatkah rumus luas lingkaran atau tata cara melaksanakan
sholat jenazah yang pasti pernah diajarkan di SMA?
Untuk
yang sudah bekerja atau menjadi ibu rumah tangga, coba ingat hal yang telah
kalian pelajari di bangku kuliah. Apakah masih ingat?
Ada
banyak ilmu dan pengetahuan yang telah kita pelajari menjadi hal yang tak lagi
dapat kita ingat di masa sekarang. Bukan hanya saya. Kalian pun pasti mengalami
hal yang sama.
Ada
kesedihan yang saya rasa begitu menyadari bahwa saya tidak mampu menjawab
pertanyaan sederhana terkait biologi. Seperti, bagaimana proses terbentuknya
mikrospora? Atau enzim yang terlibat pada proses glikolisis. Jelas! Sebelumnya
saya pernah mempelajari hal itu. Jelas, saya pernah hafal dan memahami betul
mengenai hal-hal tersebut. Namun seiring berjalannya waktu. Semakin banyak hal
yang saya ingat. Pengetahuan dan informasi lama yang pernah saya dengar
perlahan hilang.
Merasa
bodoh. Merasa dungu. Terkadang itu yang saya rasakan ketika saya tidak bisa
menjawab pertanyaan mengenai apa yang telah pernah saya ketahui sebelumnya.
Tapi lagi-lagi saya sadar bahwa saya manusia biasa. Tidak mampu saya mengingat
semua hal.
Saya
memilih untuk tidak berdiam diri. Saya memilih melawan lupa. Saya memilih
menjemput mereka lagi. Hal-hal yang pernah saya ketahui dan saya lupakan. Saya
mulai mengajar lagi. Tidak hanya mengajar mahasiswa. Saya juga mengajar sisw
SMP dan SMA. Dengan mengajar, saya mengingat lagi semuanya. Say abaca lagi
hal-hal yang sudah perlahan memudar dalam ingatan saya. Mulai lagi membahas
pertanyaan-pertanyaan terkait bidang saya.
Saya
mengisi hati-hari saya dengan mengajar. Menghabiskan akhir pekan saya dengan
berdiri dihadapan belasan siswa siswi yang butuh dibantu agar lebih paham
dengan pelajaran mereka. Mereka belajar, sayapun juga belajar. Saya merasa lelah.
Penat. Tentu saja. Karena saya bukan robot. Tapi setiap malamnya saya menghampiri
tempat tidur dan merebahkan tubuh dengan perasaan lega, karena satu lagi
pengetahuan yang telah saya lupakan kembali menjadi hal yang saya ingat.
Saya
memilih melawan lupa.
Banda
Aceh, 15 Oktober 2015
***Terima
kasih Amak. Semoga Amak mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT Allah. Delapan
belas tahun sudah sejak Amak pergi. Ayu sangat sayang Amak. Terima kasih untuk
cinta yang begitu tulus. Terima kasih sudah merawat dan mendidik Ayu dari umur
2 tahun. Tidak ada satu jasa Amak yang sudah Ayu balas. Ayu tidak diberi
kesempatan untuk membahagiakan Amak. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan,
kasih sayang dan ketulusan Amak dengan pahala yang berlipat ganda. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar