Kamis, 15 Oktober 2015

Saya Memilih Melawan Lupa!



Teringat pertama kali menginjakkan kaki di sebuah lapangan luas dengan palang tinggi bertuliskan Sekolah Dasar  di sebelah kiri lapangan tersebut. Terasa lapangan tersebut begitu luas hingga puluhan anak bisa berlarian kesana kemari tanpa berbenturan. Perlahan saya lepaskan genggaman tangan Nenek yang sedari tadi berusaha memastikan agar saya merasa nyaman dan baik-baik saja. Rasanya tak sabar berlarian di lapangan tersebut. Tak bisa rasanya bersabar beberap menit lagi untuk segera masuk kelas dan belajar. Ya! Hari itu adalah hari pertama saya menjadi siswa SD. Saya sangat bersemangat.

Duduk di kursi paling depan. Mengangkat tangan setiap ada pertanyaan. Dengan mata berbinar tak henti memandangi guru yang perlahan-lahan mengukir sebuah huruf pada papan tulis kayu tersebut. Saya mulai belajar menuliskan kata. Menjumlah. Saya mulai memberanikan diri berdiri di depan kelas. Rasa senang yang membuncah mengisi relung hati saya ketika kertas ulangan dibagikan. Hampir setiap ulangan dan ujian saya mendapat nilai terbaik. Ya, selama menjadi siswa Sekolah Dasar saya selalu menjadi juara kelas. Tidak jarang menjadi juara umum di sekolah tersebut. Rasanya membanggakan ketika nama saya dipanggil dan berdiri paling depan. Selangkah lebih maju dari barisan teman-teman lain yang juga menjadi juara di kelas mereka masing-masing.

Dengan langkah kecil yang bergulir dengan cepat, saya menghampiri nenek dan menunjukkan angka 1 yang tertera di kolom peringkat. Tentu saja saya berharap mendapat hadiah untuk itu. Ya! Sebungkus sate khas Padang adalah hadiah terbaik menurut saya kala itu. Gembira tak terkira begitu melihat nenek masuk rumah sepulang dari pasar sambil membawa kantong kresek berisi sebungkus sate.

Sejak umur dua tahun, Neneklah yang mengasuh dan membesarkan saya. Mendidik dan mengajarkan saya segala sesuatunya dengan penuh cinta. Nenek mengajarkan saya dengan penuh kasih sayang. Nenek tahu betul bagaimana caranya membuat saya senang belajar. Sehingga belajar sepulang sekolah adalah hal yang saya tunggu. Begitupun membaca buku pelajaran sesudah sholat magrib.
Tak pernah bisa lupa, rutinitas sepulang sekolah setiap harinya. Rasa lelah yang menggelayuti tubuh saya setelah berjalan beberapa kilo dari sekolah hingga rumah perlahan hilang begitu melihat Nenek berdiri di depan pintu dan menyambut saya.
“Tadi dapat nilai berapa Ayu?” tanyanya dengan lembut.
“Ayu dapat 10 Mak. Cukup kan Mak untuk membeli sate?”, tanyaku polos. Saya memanggil Nenek dengan sebutan Amak.  (Panggilan untuk Ibu dalam bahasa Minang).
Dengan sigap beliau akan mengambilkan baju ganti dan menyiapkan makan siang untukku. Hampir setiap harinya beliau menyuapiku. Karena aku selalu makan sambil belajar. Sehingga begitu selesai makan siang, akupun selesai mengerjakan pekerjaan rumah. Masa kecilku bersama Nenek yang sangat berkesan bagiku. Beliau membiasakanku belajar dengan cara yang menyenangkan. Beliau selalu tahu bagaimana cara mengapresiasi pencapaianku.

Teman-teman!
Hampir sebagian besar waktu dalam hidup kita, dihabiskan untuk sekolah. Dimulai dari TK, SD, SMP, SMA, hingga kuliah.  Kita belajar tak henti untuk mendapat selembar ijazah. Dengan ijazah itu kita bekerja. Mencari penghidupan. Mendapat pemasukan. Berkarya.
Banyak yang bekerja pada perusahaan yang sesuai dengan bidang keahlian yang mereka geluti ketika kuliah. Tidak sedikit bekerja pada instansi yang bidangnya berbeda nyata dengan bidang keahlian mereka. Banyak juga yang memilih menjadi ibu rumah tangga. Tidak jarang juga memilih jalan menjadi pengusaha. Semua pilihan tersebut baik. Karena pada dasarnya kita memilih pekerjaan yang menurut kita baik dan cocok untuk kita.

Tapi, satu hal yang terkadang kita lupa dan juga menjadi hal yang saya sesali adalah membiarkan ilmu saya lenyap begitu saja. Saya membiarkan ilmu saya perlahan hilang. Saya membiarkan pengetahuan yang telah saya peroleh sebelumnya berlalu begitu saja. Bukan sesuatu yang disengaja. Terkadang semua itu diluar kuasa kita. Karena kita manusia biasa dengan kemampuan mengingat yang juga terbatas.

Untuk yang masih duduk di bangku SMP, apakah kalian masih ingat perbedaan stalaktit dan stalaknit? Atau apakah kalian masih ingat cirri-ciri batuan sedimen? Semua itu kalian pelajari di sekolah dasar.
Bagi yang masih duduk di bangku SMA, apakah kalian masih ingat letak geografis dan batas-batas Indonesia yang dipelajari ketika SMP?
Bagi yang sedang kuliah, masih ingatkah rumus luas lingkaran atau tata cara melaksanakan sholat jenazah yang pasti pernah diajarkan di SMA?
Untuk yang sudah bekerja atau menjadi ibu rumah tangga, coba ingat hal yang telah kalian pelajari di bangku kuliah. Apakah masih ingat?

Ada banyak ilmu dan pengetahuan yang telah kita pelajari menjadi hal yang tak lagi dapat kita ingat di masa sekarang. Bukan hanya saya. Kalian pun pasti mengalami hal yang sama.
Ada kesedihan yang saya rasa begitu menyadari bahwa saya tidak mampu menjawab pertanyaan sederhana terkait biologi. Seperti, bagaimana proses terbentuknya mikrospora? Atau enzim yang terlibat pada proses glikolisis. Jelas! Sebelumnya saya pernah mempelajari hal itu. Jelas, saya pernah hafal dan memahami betul mengenai hal-hal tersebut. Namun seiring berjalannya waktu. Semakin banyak hal yang saya ingat. Pengetahuan dan informasi lama yang pernah saya dengar perlahan hilang.

Merasa bodoh. Merasa dungu. Terkadang itu yang saya rasakan ketika saya tidak bisa menjawab pertanyaan mengenai apa yang telah pernah saya ketahui sebelumnya. Tapi lagi-lagi saya sadar bahwa saya manusia biasa. Tidak mampu saya mengingat semua hal.

Saya memilih untuk tidak berdiam diri. Saya memilih melawan lupa. Saya memilih menjemput mereka lagi. Hal-hal yang pernah saya ketahui dan saya lupakan. Saya mulai mengajar lagi. Tidak hanya mengajar mahasiswa. Saya juga mengajar sisw SMP dan SMA. Dengan mengajar, saya mengingat lagi semuanya. Say abaca lagi hal-hal yang sudah perlahan memudar dalam ingatan saya. Mulai lagi membahas pertanyaan-pertanyaan terkait bidang saya.

Saya mengisi hati-hari saya dengan mengajar. Menghabiskan akhir pekan saya dengan berdiri dihadapan belasan siswa siswi yang butuh dibantu agar lebih paham dengan pelajaran mereka. Mereka belajar, sayapun juga belajar. Saya merasa lelah. Penat. Tentu saja. Karena saya bukan robot. Tapi setiap malamnya saya menghampiri tempat tidur dan merebahkan tubuh dengan perasaan lega, karena satu lagi pengetahuan yang telah saya lupakan kembali menjadi hal yang saya ingat.
Saya memilih melawan lupa.



Banda Aceh, 15 Oktober 2015






***Terima kasih Amak. Semoga Amak mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT Allah. Delapan belas tahun sudah sejak Amak pergi. Ayu sangat sayang Amak. Terima kasih untuk cinta yang begitu tulus. Terima kasih sudah merawat dan mendidik Ayu dari umur 2 tahun. Tidak ada satu jasa Amak yang sudah Ayu balas. Ayu tidak diberi kesempatan untuk membahagiakan Amak. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan, kasih sayang dan ketulusan Amak dengan pahala yang berlipat ganda. Amiin.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar