Rabu, 18 Juli 2018

Berhasil Relaktasi (Metode Praborini) Part 1 : Mengenal Relaktasi



Dihadiahi seorang bayi cantik dalam tahun pertama pernikahan kami adalah kado terindah dalam hidup saya. Lebay? Rasanya tidak. Karena hidup saya 180 derajat berubah setelah kehadiran Shanum. Dan seketika semuanya menjadi lebih indah sejak Shanum hadir dan menjadi amanah terbesar yang Allah SWT titipkan pada saya.

Saya menikah tanggal 21 Mei 2017 lalu. Selang sebulan kemudian, saya mulai merasakan dada nyeri, pinggang nyeri dan mood naik turun yang saya kira gejala menstruasi. Tidak terpikir bahwa akan secepat itu Allah SWT hadirkan Shanum dalam rahim saya.

Moment dimana saya melihat ada dua buah garis merah pada 8 buah testpack yang saya gunakan kala itu akan selalu menjadi sesuatu yang indah untuk saya kenang. Sendirian, jauh dari suami, hanya dipandu oleh teman-teman dekat di grup WA. Ya! Saya hanya bisa menangis sendiri di rumah ketika mengetahui bahwa saya sedang hamil. Berjam-jam saya menangis haru setelah melihat dua garis merah itu. Saya dan suami bekerja di kota yang berbeda sehingga mau tidak mau untuk sementara ini kami harus menjalani LDM. Saya bekerja sebagai dosen di Banda Aceh sedangkan suami saya dosen di kota Medan. Sehingga kabar kehamilan saya hanya dapat dikabarkan melalui Video Call.

Menginjak 40 minggu usia kehamilan, saya belum merasakan adanya kontraksi. Entahlah. Saya tidak tahu apa itu kontraksi, atau yang biasa digambarkan oleh teman-teman seperti rasa mau BAB tapi berkali-kali lipat sakitnya. Hmm.. saya sering mules. Tapi setelah itu pasti BAB. Pendek kata, saya tidak pernah mengalami kontraksi.

Meski segala cara sudah saya lakukan, mulai dari rutin senam hamil, latihan pernapasan, ngepel sambil nungging-nungging, induksi alami, bahkan jalan-jalan ke mall sampai mau tutup. Tapi tidak satupun dari jurus-jurus itu yang membuat adanya terjadi bukaan. Hingga begitu due date nya, sang dokter memutuskan untuk melakukan sectio caesaria, dengan pertimbangan kondisi: bayi sudah cukup umur, diameter kepala bayi besar, air ketuban sedikit, plasenta yang sudah mulai tidak bagus serta berat badan bayi yang sudah mencapai angka 3,6 kg.

Dan untuk pertama kalinya tangisan Shanum terdengar pada hari Sabtu 17 Maret 2018 pukul 11.15 WIB, disebuah rumah sakit di kota Medan. Dia lahir dengan panjang 51 cm dan bb 3,6 kg..

Happy? Tidak! Saya tidak hanya happy tapi amat sangat happy. Tidak tergambarkan rasa bahagianya. Luar biasa rasanya menjadi ibu. Tidak sabar rasanya untuk memeluk Shanum dan menyusuinya. Meski kekhawatiran saya akan gagal menyusui juga besar. Karena saya memiliki puting pendek.

Bodohnya saya, saya skip mencari informasi mengenai breast feeding. Karena dalam bayangan saya. Menyusui hanya sesimpel menyodorkan payudara ke mulut bayi dan bersabar hingga bayi kenyang. Ya! Saya terlalu yakin dengan ilmu saya yang tidak seberapa. Padahal, saya membaca semua tentang kehamilan, cara merawat bayi, merangsang motorik kasar dan halus serta mengenai MPASI. Tapi mengenai hal yang amat sangat esensial dengan bodohnya saya abaikan. Tolong jangan dititu!

Begitu perawat menanyakan kepada saya apakah Shanum akan disusui langsung atau dikasih susu formula (sufor), dengan tegas saya menjawab saya mau direct breast feeding. Maka Shanum pun ditinggalkan di ruangan bersama saya. Kenapa saya mantap untuk menyusui langsung? Karena sejak 7 bulan, ASI saya sudah keluar. Kemungkinan ini efek disebabkan karena rutin memijat payudara. Setiap hari ketika mandi dan mau tidur saya memijat payudara agar ASI lancar.

Namun, begitu Shanum disusui, ASI belum juga keluar. Sehingga Ibu saya memutuskan untuk memencet-mencet puting saya dan rasanya luar biasa sakit. Bahkan mengalahkan sakitnya bekas luka operasi. Dan pada akhirnya saya tahu bahwa memerah ASI bukan dengan memencet puting tapi memencet daerah aerola dan mendorongnya ke arah depan.
Setelah menahan sakit karena puting yang terus dipencet, akhirnya ASI saya keluar. Saya kegirangan seperti monyet yang dikasih pisang. Seketika sakit di puting tadi hilang. Lalu Shanum mulai disusui. Lagi-lagi karena saya merasa puting saya pendek, maka proses menyusui Shanum tidak berlangsung dengan lancar. Puting saya selalu terlepas dari mulut Shanum. Dan ketika puting tidak lagi di dalam mulutnya, ia pun mulai menangis. Shanum harus ditenangkan dulu sebelum mulai menyusui.

Drama pun dimulai. Saya mulai ciut. Mulai merasa bodoh. Mulai takut. Mulai gelisah. Apa yang salah? Kenapa anak saya tidak bisa menyusui dengan benar? Yang saya lakukan saat itu hanyalah menyalahkan diri saya sendiri. Karena tidak bisa duduk dengan benar, tidak bisa menahan sakit pasca sc sehingga posisi menyusui tidak benar. Saya juga terus menyalahkan puting saya yang pendek. Saya terus menyalahkan diri saya. Terlebih ibu saya terus mengkhawatirkan Shanum akan kehausan. Ibu terus mengatakan bahwa dulu juga mengalami hal yang sama. Sulit menyusui karena puting pendek. Tapi karena melahirkan normal maka posisi menyusuinya bisa benar. Saya semakin tertekan. Bagi saya yang terpenting saat itu adalah bagaimana caranya Shanum dapat cukup ASI. Tidak dehidrasi. Sehat dan baik-baik saja. Dan keputusan terbodoh pun kami ambil. Kami memutuskan untuk memberikan ASI melalui dot.

Ketidaktahuan kami, tidak. Saya lebih senang menyebutnya kebodohan. Kebodohan kami membuat Shanum akhirnya mengalami kondisi sulit. Shanum mengalami bingung puting. Dot telah membuat saya sebagai Maminya kehilangan cinta anak saya sendiri. Shanum sejak umur dua hari mulai minum ASI melalui dot. Namun saat itu saya hanya fokus pada bagaimana caranya membuat bayi saya kenyang. Selama 17 hari saya biarkan Ibu saya memberikan ASIP melalui dot kepada Shanum. Dan ketika Ibu pulang ke Padang, saya mulai mengurus Shanum sendirian. Iseng-iseng saya coba untuk menyodorkan payudara ke Shanum. Dia menolak. “Mungkin dia kenyang”, pikir saya.

Hari berlalu, menginjak usia hampir 1 bulan saya kembali mencoba menyusukan Shanum. Dan reaksinya jauh lebih hebat. Shanum meronta-ronta. Dia menangis kejer menolak disodorkan payudara. Saya terduduk lemas melihat reaksi Shanum. Sendirian di rumah karena suami sedang bekerja. Saya tidak punya siapapun untuk berbagi di rumah. Maka begitu malam tiba, saya minta izin pada suami untuk mengajak Shanum bertemu dengan konselor laktasi di RS. Suami setuju.

Tepat ketika Shanum berumur 1 bulan, saya menemui konselor laktasi. Saya bercerita panjang lebar mengenai kekhawatiran saya dan bagaimana hancurnya hati saya sebagai seorang ibu melihat bayinya menolak disusui. Merespon penjelasan saya, sang konselor mencoba meyakinkan saya bahwa saya harus mengikhlaskan kalau saja relaktasi itu tidak berhasil. Kalau saja Shanum ternyata memang lebih senang dengan dotnya.

“Kenapa Bunda mau relaktasi? Relaktasi ini untuk siapa? Untuk Shanum atau untuk memenuhi keinginan Bunda?”.

Saya tidak mampu menjawab pertanyaan sang konselor. Hati saya rasanya jauh lebih hancur dibanding sebelumnya. Pertanyaan sang konselor seperti menampar kedua pipi saya dengan kuat.

“Bunda harus mengikhlaskan kalau ternyata dot inilah pilihan anak Bunda”, sambungnya.
“Saya tidak mau Bu. Saya mau Shanum menyusu ke saya langsung,” jawab saya.

Saat itu saya tidak tahu apa dampaknya jika Shanum terus-terusan menyusu lewat dot. Yang saya tahu adalah Shanum harus menyusu langsung agar pertumbuhan giginya tidak terganggu. Padahal, ada banyak sekali kerugian yang akan diterima Shanum jika terus menerus minum ASIP melalui dot, seperti maloklusi gusi, infeksi telinga, terlambat bicara, tersedak, hingga gangguan psikologi seperti akan tumbuh menjadi anak dengan kepercayaan diri rendah. Terlebih, saya akan kehilangan 2 tahun moment berharga bersama Shanum. Saya tidak mau. Saya takut akan sangat menyesal nantinya. Saya sadar waktu tidak akan dapat saya putar kembali. Akan sangat tidak enak hidup dalam penyesalan.

Setelah bincang-bincang dengan sang konselor selama hampir 15 menit, beliau meminta saya menunjukkan bagaimana cara saya menyusukan Shanum. Bagaimana posisi perlekatan Shanum. Dan tidak ada yang salah. Posisi yang saya gunakan untuk mencoba menyusui Shanum sudah benar.

Selama 1 jam saya harus rela dan tega melihat Shanum menangis kejer menolak disodorkan payudara. Dan selama satu jam pula sang konselor terus berupaya agar Shanum mau menghisap puting saya. Dan pada 10 menit terakhir. Shanum menghisap payudara saya setelah hampir satu bulan tidak menyusu langsung. Senang sekali rasanya. Akhirnya Shanum menyerah menolak paydara saya. Begitu sampai di rumah pun saya terus menyodorkan payudara saya meski lebih sering ditolak daripada dihisap.

Saya lupa, bahwa masalah sebenarnya belum datang. Selepas Magrib, saya mulai kesulitan menghadapi Shanum. Dia terus menangis dan menolak diberi ASI melalui pipet. Dia terus menangis hingga saya kelelahan. Suami saya mulai menggendong Shanum dan mencoba memberikan ASIP melalui pipet. Shanum tetap menangis. Suami saya akhirnya menyerah. Dia tidak setuju dengan cara sang konselor langsung stop penggunaan dot pada Shanum. Baginya cara itu menyiksa Shanum. Berkali saya jelaskan bahwa memang itulah caranya. Untuk mengatasi kondisi bingung puting pada Shanum harus diawali dengan menghentikan secara total penggunaan dot. Dengan nada kesal, suami menyalahkan saya yang menghentikan penggunaan dot pada Shanum secara serta merta. Seketika semangat saya runtuh. Saya ciut seciut-ciutnya. Rasanya ada gunung yang runtuh di dalam diri saya melihat suami kembali memberikan ASIP melalui dot hanya karena tidak tega melihat Shanum menangis. Lalu bagaimana dengan saya yang siang harinya harus melihat Shanum menangis meronta selama satu jam? Malam itu saya menyerah.

Shanum berumur 1 bulan 2 minggu ketika saya menemukan akun di instagram yang menyediakan jasa pijat bayi, pijat ibu dan jasa konselor laktasi. Rupanya akun Sekolah Emaak itu dikelola oleh seorang dosen yang memiliki sertifikat internasional dalam hal pijat bayi. Saya menghubungi owner Sekolah Emak dan memesan jasa pijat bayi. Pada kedatangan pertama, Sekolah Emak mengutus seorang konselor laktasi sehingga saya bisa berkonsultasi mengenai kondisi bingung puting pada Shanum. Dengan mantap sang konselor mengatakan bahwa Shanum memiliki lip tie.

Saya telah membaca sebelumnya bahwa solusi untuk lip tie ini adalah insisi atau pemotongan. Namun saya tidak tahu bahwa ternyata Shanum memiliki lip tie. Menurut info dari sang konselor, Saya dapat menemui dokter yang biasa menangani lip tie ini di RS Colombia. Saya merasa tercerahkan menerima informasi tersebut. Segera saya kabarkan kepada suami mengenai informasi yang saya terima. Respon suami saya tidak seperti yang saya duga. Seolah dia tidak senang jika Shanum akan menghadapi operasi mini. Namun saya tetap optimis. Saya yakin bahwa setelah insisi, Shanum akan dapat menghisap dengan baik.

Menjelang Shanum berumur 3 bulan, ASI saya mulai seret. Saya kelelahan, jenuh dan stress dengan apa yang saya alami. Shanum memang tumbuh dengan baik dan cepat belajar. Namun saya merasa masih kekurangan waktu untuk bermain dengannya. Bagaimana tidak? Saya harus memompa ASI setiap 2 jam. Lalu memberikan ASIP melalui dot kepada Shanum. Dan itu berlangsung setiap hari. Kemanapun saya pergi, harus membawa peralatan pompa, dot dan ASIP untuk Shanum. Repot. Sangat merepotkan. Bahkan ketika suami sudah turun tangan membantu mengurus Shanum pun, saya masih merasa kerepotan dan kurang istirahat. Bagaimana nanti jika cuti saya telah habis dan harus kembali bekerja? Bagaimana nanti jika saya harus kembali ke Banda Aceh? Siapa yang akan menemani Shanum selama saya pumping? Siapa yang akan memberikan ASIP kepada Shanum disaat saya harus pumping? Siapa yang akan mengambilkan stok ASIP dari kulkas pada malam hari disaat saya memberikan dot pada Shanum?

Saya panik begitu melihat ASI yang saya pompa hanya sampai menyentuh pantat botol. Saya bangunkan suami yang sudah tertidur. Sudah hampir jam 11 malam. Saya merengek, menangis. Saya mulai menyalahkan suami yang tidak mendukung relaktasi Shanum ketika berumur 1 bulan. Saya menyalahkan suami yang tidak juga membawa Shanum untuk insisi. Saya menyalahkan suami karena merampas hak Shanum untuk minum ASI selama 2 tahun. Saya terus menangis dan menyesali semuanya.

Saya pandangi wajah anak saya. Anak baik budi itu harus berhenti meminum ASI saya? Anak yang sangat pengertian itu harus saya beri susu formula? Saya tidak rela. Saya akan sangat menyesal. Maka mulai saya hubungi teman-teman yang sedang menyusui anak perempuan agar menyediakan ASIP untuk Shanum, just in case esok harinya ASI saya tidak keluar lagi. Suami saya hanya tertunduk lesu. Lalu dia bergegas keluar rumah. Rupanya dia membelikan susu formula karena takut anaknya akan kehausan.

Malam itu saya tidak bisa tidur. Saya hanya terus menunggu agar dua jam cepat berlalu sehingga saya bisa mulai pumping. Saya tidak peduli jika ASI yang keluar hanya sedikit, saya terus memompa. Ada air mata yang terus mengalir yang menemani saya selama pumping. Saya benar-benar tidak ingin Shanum berhenti minum ASI.

Tepat pada tanggal 18 Juni 2018, saya mulai mencari info mengenai program relaktasi. Hingga akhirnya pencarian saya sampai kepada akun instagram milik seorang dokter spesialis anak, Siti Habsyah Masri. Rupanya DSA tersebut baru saja pindah tugas dari RS di Medan ke RSUD Teuku Umar di Calang, Kabupaten Aceh Jaya. Setelah beberapa lama stalking akun beliau, akhirnya saya mantap untuk mulai menghubungi nomor telepon yang tertera.

Seperti dugaan saya, Dokter Icha, sapaan dokter tersebut, mengharuskan saya dan Shanum untuk rawat inap. Karena metode Praborini yang saya ketahui juga menganjurkan rawat inap untuk relaktasi dan induksi laktasi. Awalnya sempat ragu untuk mengikuti saran beliau. Kenapa? Karena saya tidak kenal beliau dan tidak tahu track recordnya, jarak Calang dan Banda Aceh yang cukup jauh, biaya proses relaktasi yang tidak saya ketahui besarannya, kemungkinan relaktasi yang gagal, dan takut kalau-kalau suami juga tidak mendukung keinginan saya. Sembari konsultasi dan menanyakan ini itu, saya terus stalking akun beliau, karena sedikit banyaknya sepak terjang seseorang akan kelihatan dari postingan di akun media sosialnya.

Selama konsultasi melalui aplikasi Whatsapp, Dokter Icha mengirimkan link-link blog orang-orang yang membahas relaktasi, yang kebetulan sudah saya baca sebelumnya. Namun saya terus googling mengenai cerita teman-teman yang sudah berhasil relaktasi. Dari artikel ilmiah yang dikirimkan dokter tersebut, saya mendapat gambaran yang jelas mengenai apa yang akan saya dan Shanum lakukan dan alami selama relaktasi. Bahkan dokter Icha juga memberikan kontak salah satu mantan pasiennya yang juga telah berhasil relaktasi, Kak Niar namanya. Setelah mendengar pengalaman Kak Niar inilah saya dan suami mantap untuk menempuh 4 jam perjalanan darat menuju Calang. Bersama kami juga turut serta ibu yang saya mintai tolong untuk datang ke Banda Aceh dan menemani kami selama proses relaktasi.

(bersambung)


Part 2 : Skin to Skin Contact



.
.
.
.
.
.
.
.

Ayu Nirmala Sari, M.Si
Dosen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Ar Raniry Banda Aceh


Instagram: ayunirmalasari02

2 komentar:

  1. Terima kasih atas sharingnya bunda Shanum. Sangat bermanfaat sekali bagi saya. Apa boleh diinfokan berapa biaya untuk perawatan rawat inap relaktasi yang ibu lakukan? terima kasih

    BalasHapus