Senin, 30 Juli 2018

Berhasil Relaktasi (Metode Praborini) Part 2 : Skin to Skin Contact



Perjalanan menuju RSUD Teukur Umar di Calang Kabupaten Aceh Jaya memakan waktu hampir 4 jam. Setelah melewati jalan-jalan berkelok-kelok, naik turun bukit dan hamparan laut nan indah, akhirnya kami sampai di rumah sakit pada pukul 12.47 WIB. Ada rasa yang berkecamuk di dalam dada selama di perjalanan. Sambil memeluk erat Shanum, saya terus berdoa agar Allah SWT mudahkan semuanya. Bayangan akan gagal relaktasi saya singikirkan jauh-jauh. Sambil terus memandangi pemandangan sekitar, saya panjatkan doa dan harap. “Nak! Semua demi Shanum”. Ingin rasanya suatu hari nanti, ketika dia telah beranjak dewasa, saya bawa Shanum menapaki jalan yang pernah saya tempuh untuk belajar menyusuinya lagi.

Setelah menghubungi Dokter Icha, kami langsung mengikuti instruksi beliau untuk mendaftar dan memasukkan barang-barang ke dalam kamar rawat inap. Di rumah sakit tersebut kami menempati kamar kelas I. Shanum diletakkan di atas tempat tidur. Suami dan ibu saya sibuk memasukkan barang bawaan dan menata posisi barang-barang di lantai. Saya hanya berdiri kaku sembari melihat ke setiap sudut ruangan. Jelas ini bukan kamar baru. Pasti telah banyak pasien-pasien sakit yang menginap di kamar ini. Dan sekarang anak saya. Anak saya yang sebenarnya tidak sakit dan tidak berpenyakit. Ya! Alhamdulillah. Anak saya sehat. Dada saya membuncah. Saya pandangi Shanum yang masih tertidur pulas. “Kemana saya bawa anak saya yang masih bayi ini?”. Seketika air mata saya tumpah. Langsung saya seka air mata itu. Saya tidak mau ada orang yang melihat saya menangis.

Tak berapa lama, Dokter Icha datang. Hari itu diawali dengan konseling. Dokter menjelaskan kewajiban perempuan untuk menyusui berdasarkan firman Allah SWT dalam Al Quran dan kewajiban suami untuk mencari nafkah. Lebih lanjut dokter juga memaparkan bahaya yang akan menanti Shanum bila pada akhirnya ia harus minum susu formula. Pendek kata, konseling kala itu sarat ilmu dan semacam modal awal dan booster untuk memulai relaktasi.

Sesuai dengan metode Praborini, selama 24 jam pertama saya dan Shanum harus melakukan skin to skin contact. Ya! Saya sudah membaca semua tentang metode ini. Saya tahu apa saja yang akan saya lakukan. Bahkan saya hapal berapa dosis CTM yang akan diberikan kepada Shanum. Saya siap untuk menjalani relaktasi itu.

Hari Rabu, 27 Juni 2018 pukul 14.00 WIB relaktasi pun dimulai. Sebelum keluar ruangan dokter meminta saya untuk melepaskan pakaian bagian atas. Saya dan Shanum harus bertelanjang dada. Bahkan Shanum tidak memakai apapun selain popok dan kaos kaki. Selama 24 jam itu saya dan Shanum harus terus berdekatan. Baby moon, begitu yang selalu disebut Dokter Icha. Menjalani skin to skin contact bukan hal yang sulit lagi bagi saya, karena sebelum kami memutuskan untuk menjalani relaktasi, saya telah mencoba skin to skin contact di rumah meski tidak maksimal. Saya tidak melanjutkan skin to skin contact ketika tidur karena takut Shanum akan jatuh dari pangkuan saya. Selama 3 hari terhitung 20 Juni hingga 23 Juni, saya mencoba melakukan skin to skin contact dan menghentikan pemberian ASIP melalui dot. Kala itu tidak ada penolakan dari Shanum ketika diberikan ASIP melalui sippy cup dan pipet. Kemungkinan ini karena yang memberikan ASIP melalui dua media tersebut adalah saya. Namun, karena kami harus bepergian ke Banda Aceh menggunakan pesawat terbang, maka pada tanggal 24 Juni, kami kembali menggunakan dot untuk memberikan ASIP kepada Shanum agar selama di pesawat telinga Shanum tidak sakit karena perbedaan tekanan udara.

Siang hari itu terasa berat. Rasa percaya diri saya sempat runtuh melihat Shanum menangis dan menolak diberikan ASIP melalui spuit dan cup feeder. Terlebih dia sama sekali tidak melihat saya ketika ada perawat yang mencoba memberikan ASIP kepadanya. Shanum terus menangis dan tidak mau diberi ASIP. Saya mulai panik. Keringat dingin bercucuran membasahi kening saya meski ruangan itu memiliki pendingin udara. Saya tidak tega mendengar Shanum menangis. Saya memang tidak membiasakan Shanum menangis. Menurut informasi yang saya baca, bayi yang dibiarkan menangis akan merasa diabaikan sehingga akan tumbuh menjadi anak yang minder dan pemarah. Karena itulah saya berusaha selalu menjadi ibu siaga dengan tidak membiarkan anak saya menangis terlalu lama. Shanum hanya saya izinkan menangis ketika mandi di pagi hari. Meski sebenarnya mandi adalah salah satu rutinitas favorit bayi montok saya itu.

Menjelang sore, suami dan ibu saya berhasil memberikan ASIP pada Shanum. Sepertinya karena lapar makanya mau tidak mau ia meminum ASIP meskipun sesekali menangis. Saya mulai sedikit lega, terlebih Shanum langsung tertidur karena sudah merasa kenyang.

Selepas maghrib Shanum kembali menunjukkan rasa kesalnya. Lagi-lagi ia merengek. Meski sudah digendong dan diayun, Shanum tidak kunjung tidur. Padahal biasanya amat gampang membuatnya tidur. Cukup digendong posisi tegak sambil dinyanyikan lagu huruf hijaiyah kesukaannya. Tapi hari itu semua tidak mempan. Ibu dan suami kembali memberikan ASIP melalui cup feeder. Kali ini Shanum sudah lebih tenang minum ASIP dari cup feeder karena sudah ibu dan suami sudah tahu caranya. Yaitu dengan meletakkan cup feeder diatas lidah Shanum, sehingga ia bisa mengontrol jumlah ASIP yang akan diminum.

Selepas minum ASIP saya kembali melanjutkan skin to skin contact. Saya mulai kelelahan. Lengan saya mulai keram. Kaki saya terasa pegal. Terang saja. Telah berjam-jam saya menggendong bayi yang beratnya mencapai 7.5 kg ketika relaktasi itu dilakukan. Shanum kembali menangis. Saya terus dekap ia di pelukan saya. Saya terus bicara di telinga kirinya. Biasanya anak baik budi itu selalu paham dan mengerti apa yang saya minta. Seperti ketika saya demam saat ia berumur 2 bulan. Saya minta ia tidur cepat dan tidak menangis saat malam karena saya harus minum obat. Dan benar, ia sudah tidur sebelum Isya dan tidak bangun sama sekali malam harinya. Saya saja yang terus berusaha memberikan ASIP setiap 2 jam yang kala itu masih menggunakan dot. Shanum juga berhasil membuat saya terpukau karena ia sangat anteng ketika saya bawa ke masjid untuk melaksanakan Idul Fitri saat dia beurmur 3 bulan. Shanum sama sekali tidak terpengaruh dengan tangisan anak-anak lain. Ia fokus pada mukena jamaah yang tertiup angin. Shanum bermain sendiri sampai saya selesai sholat. Padahal saya sudah ketakutan kalau-kalau Shanum akan menangis dan menggangu kenyamanan sholat di masjid tersebut.

Namun di rumah sakit kala itu, Shanum sangat berbeda. Semakin saya berbisik di telinganya, ia seolah makin kesal. Semakin saya nanyikan lagu kesukaannya, ia semakin merengek. Jelas bayi saya sedang protes dengan kondisi yang dia alami saat itu. Sebenarnya saya ingin berhenti menggendong Shanum. Namun untuk memberikan Shanum kepada suami dan ibu, saya juga tidak tega. Mereka juga sudah terlihat lelah. Raut sedih jelas terlihat di wajah mereka melihat Shanum yang sedang ‘tersiksa”.

Menjelang pukul 9 malam, dokter berkunjung ke ruangan kami. Seperti sebelumnya, dokter menanyakan progress Shanum. Tentu saja tak lupa menceritakan pengalaman pasien lain yang berhasil relaktasi dan memberikan semangat untuk saya. Meyakinkan ibu dan suami bahwa semua akan baik-baik saja. Dan seolah tahu bahwa ada sesuatu yang belum tersampaikan dari saya. Dokter mulai memancing. Meminta saya menyampaikan uneg-uneg. Dan benar saja. Air mata saya tumpah. Rasa sedih, minder, galau yang selama ini tak sempat saya sampaikan kepada suami dan ibu, akhirnya mereka dengarkan sendiri. Panjang lebar saya utarakan apa yang saya rasa. Tentang betapa lelahnya saya menangis sendiri. Betapa hancurnya perasaan saya melihat Shanum menolak saya susui. Betapa sedihnya saya melihat ASI saya berkurang. Betapa mindernya saya melihat ibu-ibu lain yang dengan lancar dapat menyusui anaknya. Dan tentang betapa inginnya saya menyusui anak saya sendiri selama 2 tahun pertama kehidupannya. Ya! Sambil menggendong Shanum saya terus meluapkan isi hati saya. Sedu sedan. Rasanya ada banyak hal yang selama ini saya simpan sendiri. Ada rasa yang hanya saya tanggung sendiri.

Kunjungan dokter malam itu berakhir tak lama setelah sesi curhat saya selesai. Dokter Icha menyampaikan kalau kami semua harus siap-siap just in case Shanum akan ‘mengamuk’ pukul 2 pagi. Karena biasanya bayi relaktasi lainnya akan bangun dan menangis menjelang dini hari. Dan menurut sang dokter, jika Shanum tidak terkendali, ia akan diberi CTM agar lebih calm.

Saya letakkan Shanum di tempat tidur karena saya harus pumping. Payudara saya terasa sangat penuh. Terlebih stock ASIP Shanum sudah habis. Tidak ada ASIP yang akan diberikan kalau-kalau Shanum bangun tengah malam nanti. Tak butuh waktu lama untuk mengisi 2 botol kosong itu dengan ASI. Tepat pukul 11 malam saya sudah selesai pumping dan hendak tidur karena saya juga sudah mengantuk. Sambil berbaring, iseng saya sodorkan payudara ke Shanum, dan dia menghisapnya. Ya! Alhamdulillahirabbil alamin. Akhirnya Lashirashanum Setya Lahfah kembali menghisap payudara saya lagi setelah 3 bulan lamanya minum ASI melalui dot.

Tangisan saya pecah. Tak henti saya ciumi anak saya yang sedang asyik menghisap payudara saya. Meski sesekali puting masih terlepas dari mulutnya, ia terus menghisap dan menghisap. Air mata saya seolah tak ingin berhenti mengalir. Akhirnya saya merasa utuh menjadi seorang ibu. Saya menyusui anak saya. Ibu saya yang juga ikut menyaksikan moment itu terus mengucap syukur. Kami sangat bahagia melihat Shanum kembali minum ASI langsung dari saya. “Shanum sedih mendengar Mami nangis tadi, makanya sekarang langsung netek. Tadi kan selama Ayu curhat ke dokter, Shanum lagi digendong’, kata Ibu. Ya! Bisa saja. Mungkin saja benar ia mau menghisap payudara saya karena akhirnya tahu apa yang selama ini dirasakan Maminya.. Anak itu mendengar semua curahan hati Maminya. Ia mengerti kegundahan Maminya.

Segera saya dokumentasikan moment berharga itu. Tak lupa saya kirimkan ke dokter disertai dengan ucapan terima kasih karena tak henti memberi semangat dan menguatkan kami sekeluarga.

Dan malam itu berlalu dengan indah. Shanum menyusu selama 2 jam. Meski puting selalu terlepas dari mulutnya. Ia terus mencoba menghisap dan menghisap. Saya pun terus berusaha agar payudara saya tidak lepas dari mulut Shanum.

(bersambung….)

Part 3 : Shanum, lip tie dan tounge tie.



.
.
.
.
.
.
.
.

Ayu Nirmala Sari, M.Si
Dosen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Ar Raniry Banda Aceh
Instagram: ayunirmalasari02


4 komentar:

  1. Terimakasih tulisannya ibu. Sangat bermanfaat sekali.. Saya jg domisili banda aceh dan berencana insisi tongue tie bayi saya di dr icha.. Jika berkenan boleh saya minta kontak wa ibu.. Email saya noviamardha@gmail.com
    Terimakasih bu

    BalasHapus
  2. Waiting for part 3 😅😅

    BalasHapus
  3. Waiting for part 3 😅😅

    BalasHapus
  4. Saya tunggu part 3 nya mom

    BalasHapus